Gendhing Ketawang Puspawarna terbilang tembang yang punya cerita istimewa dibandingkan dengan gendhing Jawa lainnya.  Ini terlebih ketika dihubungkan dengan suatu hal yang terjadi pada pertengahan dasawarsa 1970-an. Sejak itu, Gendhing Ketawang Puspawarna termasuk dari sedikit komposisi musik yang tak cuma dapat dinikmati oleh mereka yang mendiami Planet Bumi, tetapi bahkan dimungkinkan menyapa para penghuni planet-planet dan galaksi lain. 

Bagi masyarakat Indonesia yang sekitar 88 persen di antaranya adalah pemeluk agama Islam, “puasa” tentu identik dengan puasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan menurut kalender Hijriyah, yang setiap malamnya diisi salat tarawih berjamaah. Penutupan puasa Ramadhan dengan takbir semalaman, salat berjamaah, silahturahim bermaaf-maafan dengan kerabat dan tetangga, juga bersantap berbagai hidangan lezat dan minuman menyegarkan. 

​Gerbang-gerbang selatan di kompleks kraton-kraton Jawa, baik yang ada di Solo maupun yang ada di Jogja, menyandang nama yang mirip. Sama-sama dinamai memakai kata “Gadhing”. Ini berlaku di Kasunanan Surakarta maupun di Kasultanan Yogyakarta. Pihak Kasunanan menamai gerbang selatan istananya sebagai Gapura Gading, sedangkan Kasultanan menamai gerbang selatannya sebagai Plengkung Gading. Ini tidak lepas dari makna kata “Gading” dalam bahasa Jawa yang salah satunya memang berarti “selatan”.

Pararaton acap disebut orang sebagai kitab hasil rekayasa Belanda. Tuduhan ini muncul antara lain karena adanya dua kandungan cerita kontroversial  di dalam kitab tersebut. Pertama adalah kisah Ken Angrok sang pendiri Wangsa Rajasa sekaligus maharaja pertama Tumapel-Singhasari yang digambarkan pernah menjadi maling, garong, pemerkosa, hingga perebut bini orang. Kedua adalah kisah tentang Tragedi Pasunda Bubat, yakni batalnya pernikahan Maharaja Hayam Wuruk dari Majapahit dengan Putri Maharaja Sunda yang lantas berujung pembantaian terhadap rombongan pengantar mempelai perempuan.  

​Sebagaimana banyak masyarakat di Dunia dan Indonesia secara umum saat ini, masyarakat Jawa dan Bali dalam keseharian telah memakai sistem Tarikh Masehi. Ini berlaku untuk hitungan tahun, pembagian bulan dan penyebutannya, jumlah hari dalam setiap pekannya, sampai kepada perhitungan jam-menit-detik saban harinya.