Nagarakretagama juga memberikan kilasan enam bagian tata kota lainnya: gerbang kota, balai atau pendopo, wisma atau perumahan, bangunan suci, tempat tinggal raja dan keluarganya (dalĕm), tempat tinggal pejabat tinggi, dan permukiman rakyat. Berikut uraian lebih lebih rinci Nagarakretagama menurut karya terjemahan I Ketut Riana (2009) dan Damaika Saktiani, dkk. (2019).
1. Benteng dan Pintu Gerbang Seperti kutipan kalimat pembuka, uraian tentang benteng ada di pupuh 8 bait 1. Bahwa benteng atau tembok keliling lapis dua kompleks istana Majapahit memiliki pintu gerbang barat bernama Pura Waktra. Gerbang ini menghadap ke lapangan luas bernama Alun-alun Watangan yang dilingkari oleh parit dalam berair, jajaran pohon beringin brahmasthana, dan pohon bodi. Selalu ada para prajurit bertugas shift menjaga keamanan istana. Istana Majapahit memiliki pula gerbang utara dan selatan. Menurut pupuh 8 bait 2, gerbang utara berdaun pintu besi berukir indah, juga dilengkapi tempat berkumpul para prajurit yang berada di sebelah timurnya. Gerbang selatan, disebutkan pada pupuh 8 bait 5-6, serta pupuh 9 bait 3. Merujuk beberapa pupuh tersebut, kita bisa mengetahui bahwa setelah masuk melewati gerbang selatan, lalu menjumpai bangunan balairung atau pendopo pertemuan yang terletak di sisi barat daya kompleks istana. Di area sama, berdiri panggung dan wisma prajurit. Gerbang utara dan selatan juga dijaga banyak prajurit. Lokasi kini yang diperkirakan sebagai tempat berdirinya gerbang utara istana Majapahit dikenal sebagai Situs Kubur Panggung, Trowulan. Kubur Panggung diindikasi sebagai menara pengawas. Informasi dari beberapa pupuh tersebut menunjukkan bahwa benteng dan pintu gerbang merupakan objek vital tata kota Majapahit, khususnya sebagai akses keluar masuk istana. 2. Balai atau Pendopo Balai atau pendopo adalah bagian dalam dari tata ruang ibukota Majapahit yang sering disebut dalam Nagarakretagama. R. Cecep Permana dalam Kamus Istilah Arkeologi-Cagar Budaya (2016) mendeskripsikannya sebagai bangunan beratap tanpa dinding yang berfungsi sebagai tempat pertemuan sehingga mampu menampung banyak orang. Salah satunya berfungsi sebagai tempat untuk prosesi menghadap raja atau paseban. Uraian dijumpai pada pupuh 8 bait 1, 3, 5, dan 6, lalu pupuh 9 bait 2, 3, dan 4. Balai dengan ukuran paling besar adalah balairung berada di dekat gerbang barat. Melalui gerbang bernama resmi Pura Waktra, balairung terhubung langsung dengan alun-alun Watangan di sebelah baratnya. Pura Waktra senantiasa ramai antrean para pejabat level menteri hingga pujangga saat prosesi menghadap raja. Pupuh 10 bait 1 menyebutkan bahwa Balai Witana merupakan balai terpenting terletak di tengah istana. Digunakan sebagai tempat menghadap raja bagi para menteri, bangsawan/ksatria, cendekiawan, juga lima tingkatan pejabat tinggi, yakni mahapatih, demung, kanuruhan, rangga, dan tumenggung. Pupuh 11 bait 1 bahkan memberi keterangan tambahan bahwa balai witana menjadi singgasana raja. 3. Wisma atau Perumahan Wisma (wēśma) menurut Nagarakretagama berupa bangunan rumah maupun perumahan yaitu kumpulan rumah. Wisma juga bersinonim dengan yaśa dan greha dalam bahasa Jawa Kuna. Sebagai bangunan, wisma beratap dan berdinding karena digunakan sebagai tempat tinggal ataupun kantor. Berdasar penghuninya, wisma dibedakan menjadi 5 jenis, yakni wisma pujangga dan menteri (pupuh 8 bait 3), wisma pendeta Siwa-Budha (pupuh 8 bait 4), wisma prajurit (pupuh 8 bait 5), perumahan abdi Raja Paguhan (pupuh 9 bait 3), wisma para menteri dan pejabat tinggi termasuk Pengalasan (pupuh 10 bait 2). Perihal wisma pendeta Siwa-Buddha, hunian mereka di dalam istana bersifat semi-permanen. Mereka juga memiliki tempat tinggal di luar gerbang lapis dua kompleks istana atau di area lingkar tembok batas terluar istana. Menurut pupuh 12 bait 1, pendeta Siwa bergelar Dang Hyang Brahmaraja tinggal di sisi timur tembok istana. Sedangkan para pendeta Buddha Sangha juga pendeta Rangkanadi sebagai pimpinannya tinggal di sisi selatan tembok istana. 4. Bangunan Suci Pupuh 8 bait 4 menguraikan bangunan suci di dalam istana adalah Candi Siwa (kaśaiwan) dan bangunan pemujaan pendeta Buddha (patawuran). Kedua bangunan suci terletak di bagian tengah kawasan permukiman pendeta Siwa maupun pendeta Buddha. Dilihat dari rekonstruksi tata letak kompleks istana, lokasi kedua bangunan suci berdekatan dengan halaman tempat pelaksanaan kurban api (pahoman) sehingga tergolong area sakral sebagai tempat bersembahyang. 5. Tempat Tinggal Maharaja dan Keluarganya (Dalĕm) Tempat tinggal maharaja dan keluarganya disebut dalĕm. Kurang-lebihnya, dalam bahasa Jawa Kuna sepadan dengan istana atau rumah besar mewah yang dikelilingi oleh pagar dalam bahasa Indonesia kini. Lazim pula disebut sebagai puri . Menurut pupuh 11 bait 1, kediaman Maharaja Hayam Wuruk terletak di timur Balai Witana, di dalam lingkar pagar utama yang tak sembarang orang bisa memasukinya. Di arah utara dari kediaman maharaja berdiri puri Istana Utara sebagai kediaman ibu serta ayah Hayam Wuruk, yakni Bhre Kahuripan Sri Tribuwana Tunggadewi dan Bhre Singhasari Sri Kertawardhana. Sementara itu, di arah selatan dari kediaman maharaja ada puri Istana Selatan sebagai kediaman adik dan ipar maharaja, yaitu Bhre Pajang Rajasaduhiteswari dan Bhre Paguhan Sri Singawardhana. Bibi dan paman Hayam Wuruk, Bhre Daha Rajadewi Maharajasa dan Bhre Wengker Wijayarajasa, berpuri di dekat tembok batas terluar istana, satu klaster dengan permukiman para pendeta Siwa. Sebutan lazim bagi puri kediaman Bhre Daha dan Bhre Wengker disebut Istana Raja Wengker. Ada lapangan dan parit yang memisahkan Istana Raja Wengker dengan gerbang akses tembok lapis kedua kompleks Istana Majapahit. Bhre Matahun dan Bhre Lasem adalah menantu dan putri dari Bhre Daha serta Bhre Wengker. Mereka bertempat tinggal di sebelah selatan Istana Raja Wengker. Beberapa sanak-saudara dan kerabat maharaja bertempat tinggal di sisi barat dan utara lingkar terluar tembok batas kompleks istana. Contohnya Batara Narapati, adik Bhre Wengker sekaligus Patih Daha, bertempat tinggal dekat Pasar Kota yang sudah dekat bentangan tembok utara dari lingkar batas terluar kompleks istana. 6. Tempat Tinggal Pejabat Tinggi Menurut pupuh 10 bait 1, pejabat tinggi kerajaan ada lima golongan (Sang Panca Wilwatikta), yakni Mahapatih, Demung, Kanuruhan, Rangga, dan Tumenggung. Saat Nagarakretagama ditulis pada 1365, mahapatih Majapahit adalah Gajah Mada. Pada pupuh 12 bait 4, ia bertempat tinggal di sisi timur laut tembok batas istana. Sementara tempat tinggal empat pejabat tinggi tersebut tidak disebutkan spesifik. Pupuh 10 bait 2 hanya menyebutkan banyak perumahan/wisma para menteri dan pejabat tinggi sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah. Hanya petinggi Pangalasan yang tinggal di wisma karena mereka bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan atau mengawal urusan negara. 8. Permukiman Rakyat Rakyat Majapahit yang dimaksud adalah rakyat yang masih ada di sekitar lingkungan istana. Mereka bukan para pejabat atau keluarga istana sehingga permukiman mereka berada di area lingkar tembok batas terluar kompleks istana, bahkan di luar tembok kompleks istana. Akses mereka di kawasan ibukota adalah aktivitas perdagangan ataupun sebagai abdi istana. Pupuh 12 bait 3 menyebut ada pasar besar dengan beberapa bangunan indah di sisi utara istana. Pupuh 8 bait 2 menyebut ada rumah (yaśa) berjejal memanjang di sisi selatan pasar dilengkapi jalan simpang empat sebagai tempat berkumpul para prajurit di bulan Caitya. Beberapa bangunan tersebut tentu ada dimiliki pedagang dari kalangan rakyat Majapahit. Para abdi istana dari kalangan rakyat biasa, prajurit, seniman, pujangga, dan pengawas agama (dharmadyaksa) memiliki wisma di dalam istana. Wisma para prajurit dan pujangga berada sebelah utara Balai Agung Manguntur dan Balai Witana. Pupuh 12 bait 5 menyebut para dharmadyaksa tinggal di sisi selatan istana. Tatanan kota tersebut menggambarkan bahwa perbedaan status sosial pada era Majapahit tidak menjadi halangan mereka untuk tetap hidup berdampingan. RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |