ULLEN SENTALU
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak

KAJIAN

Artikel Riset Museum Ullen Sentalu tentang Jawa dan Nusantara

21 Buku dan Tulisan Lain Penyambung Pengetahuan dari Nagarakretagama

30/10/2024

0 Comments

 
Picture
Sebagai suatu kitab kuno yang penulisannya selesai pada 1365 Masehi, Desawarnana atau Nagarakretagama telah mencapai umur 706 tahun pada 2024. Namun, dari tujuh abad tersebut, pada pertengahan 1500-an hingga jelang 1900-an, atau sekitar 360 tahun keberadaan kitab kuno dengan aneka pengetahuan di dalamnya, sempat terlupakan oleh sebagian besar di Kepulauan Nusantara. “Amnesia” 36 dasawarsa terhadap Nagarakretagama terkait erat dengan runtuhnya Majapahit, yang turut mencerai-beraikan kekayaan literasi kerajaan besar Majapahit.
Enklaf dan Suaka
Tatkala Nusantara mengalami masa teramat panjang “amnesia” terhadap Nagarakretagama, untungnya masih ada masyarakat Bali yang merawat kitab karya Mpu Prapanca. Mereka memelihara secara fisik dan ingatan terhadap pengetahuan dalam kitab tersebut. Dalam hal ini, Hindu sebagai agama mayoritas sekaligus deteminan penting masyarakat Bali berperan sebagai daulat terbesar dan terpenting dari Peradaban Hindu-Buddha Jawa Kuna dari abad kelima hingga abad ke enambelas Masehi. Masyarakat Bali dan berbagai kerajaan berpusat di Pulau Bali sanggup mengambil peran sebagai enklaf dan benteng signifikan terakhir peradaban Hindu-Buddha di Kepulauan Nusantara pasca runtuhnya Majapahit.
Masyarakat Bali pun menjadi populasi besar ahli waris penuh penjiwaan atas kekayaan budaya era Majapahit dan zaman Jawa Kuna selebihnya. Aneka warisan budaya tersebut menemukan suaka atau bahkan mesin pembeku waktu, sehingga kekayaan budaya tersebut tetap menjadi bagian hidup keseharian mereka dan bahkan menjadi hal signifikan. Hasilnya adalah, aneka warisan budaya tersebut terus dapat sintas melewati pertambahan abad. Sebaliknya di Jawa, pasca runtuhnya Majapahit pada 1500an, banyak hasil budaya dari zaman Jawa Kuna, mengompromikan warna dan orisinalitasnya.  Bahkan ada pula yang terpinggirkan menjadi tidak signifikan. Hal ini merupakan konsekuensi dari dialektika dengan pihak dominan baru yaitu Islam.  
Spesifik pada Nagarakretagama, satu urun penting masyarakat Bali dalam menjaga eksistensi kitab tersebut terjadi pada 1740.  Seorang bernama Arthapamasah, menyalin naskah Nagarakretagama ke berlembar-lembar lontar baru. Pekerjaan ini dilakukan karena keropak lontar sebelumnya—kemungkinan adalah hasil tulisan langsung Mpu Prapanca—telah sangat rapuh karena faktor usia. Tradisi literasi dari zaman Jawa Kuna, masih mengandalkan lembaran daun lontar. Penyalinan ulang secara berkala atas isi lontar tua ke lontar baru adalah pola lazim era tersebut. Cara standar ini untuk memastikan pengetahuan dari suatu karya tulis dapat terus lestari. Tak terelakkan lembar lontar memiliki batas ketahanan fisik seiring pertambahan umur karena kelembaban.
Perihal keberadaan kitab Nagarakretagama, dalam masyarakat Bali rupanya sangat sedikit pihak yang tahu atau berkesempatan mengaksesnya. Sarjana Eropa sudah menjelajahi Bali sejak 1850-an, guna mencari tahu berbagai kekayaan pustaka aneka kitab kuno yang dimiliki para cerdik-pandai dan penguasa Bali. Sosok perintis tersebut adalah R Friederich. Namun, hingga 1890, ia belum menemukan atau mendapat laporan keberadaan naskah Nagarakretagama tersebut ada di Bali.
 
Dimungkinkan Dua Hal
Masyarakat moderen di luar wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Bali baru mengetahui keberadaan naskah Desawarnana atau Nagarakretagama pada 1894. Artinya, hampir setengah abad setelah R Friedrich blusukan di Bali. Penemuan kembali secara perdana Nagarakretagama di era moderen adalah dalam wujud keropak lontar hasil salinan 1740 terjadi di Pulau Lombok, tetangga Bali di arah timur. Lontar karya Arthapamasah untuk memerpanjang umur anggitan Mpu Prapanca menjadi salah satu koleksi pustaka Puri Cakranegara, yakni istana milik Kerajaan Karangasem Bali yang dipergunakan sebagai tempat memerintah vazal dan koloni Lombok.  
Penemuan kembali Nagarakretagama dimungkinkan terjadi karena adanya gesekan dua hal. Pertama, bentangan kekuasaan kerajaan-kerajaan Bali secara tradisional telah melampaui batas-batas alam Pulau Bali. Hingga 1700-an, perbawa dan taji kekuatan kerajaan asal Bali pernah melingkupi Blambangan atau Ujung Timur Pulau Jawa, yakni daerah-daerah yang kini dikenal sebagai Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Jember, dan Lumajang. Lombok pada 1890-an merupakan sisa terakhir dari cakupan luas kekuasaan kerajaan Bali di luar Pulau Bali.
Hal kedua, kampanye geopolitik ekspansif Pax Neerlandica oleh Belanda pada tahun 1800-an, yakni ambisi menguasai dan memerintah seluas luasnya wilayah Kepulauan Nusantara.  Untuk mewujudkan hal itu, Belanda harus melakukan ekspedisi militer memerangi dan menaklukkan berbagai kuasa lokal yang menolak tunduk. Kerajaan Karangasem Bali yang berkuasa hingga Lombok menjadi salah satu kerajaaan lokal pantang menyerah. Taktik ekspedisi militer Belanda mengakhiri peperangan internal antara penguasa Bali dengan rakyat Sasak di Lombok dipilih dalam penaklukan Lombok pada 1894. Pada gelombang II ekspedisi militer, Belanda merebut dan memporakporandakan Puri Cakranegara. Tragedi berdarah 18 November 1894, telah membunuh ribuan penghuni puri.
Peristiwa tragis 130 tahun lalu, berupa penjarahan oleh para serdadu Belanda terhadap isi puri, terutama berkilo-kilo emas dan perak juga kebakaran besar yang menghanguskan seisi kompleks puri, dipicu meledaknya stok mesiu di salah satu bagian dalam puri. Hampir saja keropak lontar Nagarakretagama salinan Arthapamasah ikut musnah dimangsa api. Saat itu, berbagai kitab lontar koleksi pustaka puri jelas bukan hal menarik perhatian untuk dipedulikan serdadu dan umum. Beruntung, dalam ekspedisi militer ke Lombok, pemerintah Belanda menugaskan pula seorang ahli sastra kuno dan sejarah bernama JLA Brandes. Ia diberi tugas khusus untuk dapat mengidentifikasi dan menyelamatkan berbagai peninggalan budaya penting milik Kerajaan Karangasem. Naskah Nagarakretagama merupakan temuan terpenting yang berhasil diselamatkan Brandes dari amuk peperangan di Lombok.
Kini, yang dahulu merupakan Puri Cakranegara megah sudah musnah. Hampir semua bagiannya menjadi kawasan perniagaan berupa pertokoan. Sedikit sisa keelokan masa lalunya sebelum tragedi penghancuran 1894 adalah Taman Mayura, yang kini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
 
Kembali Menemukan Tempat
Di sisi lain, pasca tragedi Puri Cakranegara, Nagarakretagama berangsur-angsur kembali menemukan tempat mantap dan terhormat dalam jagad literasi, tak hanya di Indonesia dan Belanda, tetapi mendunia. Pengakuan resmi sebagai Memory of the World oleh UNESCO pada 2008 adalah bukti.
130 tahun terakhir, Nagarakretagama tak kekurangan atensi. Berbagai pihak dari ilmu sastra dan bahasa kuno serta pakar sejarah tertarik mengkajinya. Hingga akhirnya terbit naskah beraksara Bali dengan transliterasi huruf Latin, sederet cetak dengan terjemahan modern, juga bermacam tulisan analisis tentang aneka pengetahuan yang termuat di dalam kitab.
Pada 1970, naskah Nagarakrtagama temuan di Puri Cakranegara dikembalikan Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia, setelah bertahun-tahun disimpan pihak Belanda sebagai salah satu trofi kejayaan kolonialisme mereka di Nusantara. Momen pengembalian bertepatan dengan kunjungan Presiden Soeharto ke Belanda. Pengembalian manuskrip sepenting Nagarakretagama bisa ditafsir sebagai bentuk keseriusan Belanda memerbaiki hubungan diplomatik dengan Indonesia yang pernah sangat buruk pada pertengahan 1950-an hingga 1960-an. Berkaitan dengan sengketa wilayah Irian Barat yang kini lebih dikenal sebagai Papua.
Hal status terhormat Nagarakretagama sebagai sumber literasi sastra dan sejarah, tercatat telah ada 21 buku dan tulisan sebagai penyambung pengetahuan dari kitab kuno tersebut bagi orang-orang modern sejak awal 1900-an hingga saat ini. Daftar rincian menurut waktu terbit masing-masing publikasi tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Brandes, JLA.  (1902).  “Nagarakretagama: Loftdich van Prapantja op koning Rajasanagara, Hajam Wuruk van Madjapahit” dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.  LIV, I
  2. Kern, H. (1905-1914). “De Nagarakrtagama” dalam Verspreide Geschriften VII: 249-320 dan Verspreide Geschriften VIII: 1-132
  3. Kern, H. (1919). Het Oud-Javaansche Loftdich Nagarakrtagama van Prapanca (1365 AD), Tekst, Vertaling en Bespreking, overgedrukt uit de Verspreide Geschriften DI, VII-VIII, met Aantekeningen van Dr NJ Krom. S-Gravenhage: Martinus Nijhoff
  4. Poerbatjaraka, RNg. (1924). “Aantekeningen op de Nagarakretagama” dalam Bijdragen toot de Taal-, Land-, en Volkenkunde 80 diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde. 219-286
  5. Pigeaud, TGT. (1960-1963). Java in the 14th Century. A Study in Cultural History. The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit 1365 AD. Volume I-V. The Hague: Martinus Nijhoff
  6. Poerbatjaraka, RMNg. (1952). “Nagarakrětâgama, mawi sekar” dalam RMNg Poerbatjaraka, Kapustakan Djawi. Jakarta & Amsterdam: Djambatan
  7. Muljana, Slamet. (1953). Nagarakretagama. Jakarta: Siliwangi
  8. Muljana, Slamet. (1956). Menuju Puntjak Kemegahan. Jakarta: Balai Pustaka & Departemen Urusan Research Nasional
  9. Berg, CC. (1962). “Het rijk van de vijfvoudige Buddha” dalam Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afdeling Letterkunde, LXIX 1
  10. Zoetmulder, PJ. (1974). “Prapañca and Nāgarkŗtāgama” dalam PJ Zoetmulder, Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature. Den Haag: KITLV & Martinus Nijhoff
  11. Muljana, Slamet. (1979). Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara
  12. Zoetmulder, PJ. (1983). “Prapañca dan Nāgarakŗtāgama” dalam PJ Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Dick Hartoko SJ, Penerjemah). Jakarta: Djambatan
  13. Ras, JJ. (1988). “Nāgarkertāgama (Deśawarņnana)” dalam JJ Ras, Maatschappij en Letterkunde op Java. Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost Azie en Oceanie Rijkuniversiteit Leiden
  14. Robson, Stuart. (1995). Desawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca. Leiden: KITLV Press
  15. Swantoro, P. (2002). “Dua Karya Kuno yang Tetap Baru” dalam P Swantoro, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu”. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
  16. Sidomulyo, Hadi (2007)., Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Wedatama Widya Sastra & Yayasan Nandiswara
  17. Riana, I Ketut (2009). Kakawin Dēśa Warņnana uthawi Nāgara Kŗtāgama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS
  18. Ras, JJ. (2014). “Nāgarkertāgama (Deśawarņnana)” dalam JJ Ras, Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa (Achadiati Ikram, Penerjemah). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
  19. Prapanca, Mpu. (2015). Kakawin Nagarakertagama (Damaika Saktiani dkk, Penerjemah). Yogyakarta: Narasi
  20. Prapanca, Mpu. (2017). Desawarnana: Saduran Kakawin Nagarakertagama untuk Bacaan Remaja (Mien Ahmad Rifai, Penyadur). Depok: Komunitas Bambu.
  21. Linde, Herald van der. (2024). Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire. Melton Mowbray: Moonsoon Books
YOSEF KELIK (Peneliti Museum Ullen Sentalu)
 
 
Referensi:
Linde, Herald van der. (2024). Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire. Melton Mowbray: Moonsoon Books
Muljana, Slamet. (2011, Cetakan V). Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LkiS
Permana, R Cecep Eka. (2016). Kamus Istilah Arkeologi-Cagar Budaya. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
Prapanca, Mpu. (2019, Edisi Revisi HC), Kakawin Nagarakertagama (Damaika Saktiani dkk, Penerjemah). Yogyakarta: NARASI
Prapanca, Mpu. (2017). Desawarnana: Saduran Kakawin Nagarakertagama untuk Bacaan Remaja (Mien Ahmad Rifai, Penyadur). Depok: Komunitas Bambu.
Swantoro, P. (2016, Cetakan III). Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
 
0 Comments



Leave a Reply.

    Archives

    October 2025
    September 2025
    August 2025
    July 2025
    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    September 2021
    May 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021

    Categories

    All
    Budaya
    Kesehatan
    Pendidikan
    Sastra
    Sejarah
    Yogyakarta

MUSEUM ULLEN SENTALU
Jl. Boyong Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta

SEKRETARIAT ULLEN SENTALU
Jl. Plemburan 10, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta 55581
T. 0274 880158, 880157
E. [email protected], [email protected]
Ikuti Ullen Sentalu di:
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak