Enklaf dan Suaka
Tatkala Nusantara mengalami masa teramat panjang “amnesia” terhadap Nagarakretagama, untungnya masih ada masyarakat Bali yang merawat kitab karya Mpu Prapanca. Mereka memelihara secara fisik dan ingatan terhadap pengetahuan dalam kitab tersebut. Dalam hal ini, Hindu sebagai agama mayoritas sekaligus deteminan penting masyarakat Bali berperan sebagai daulat terbesar dan terpenting dari Peradaban Hindu-Buddha Jawa Kuna dari abad kelima hingga abad ke enambelas Masehi. Masyarakat Bali dan berbagai kerajaan berpusat di Pulau Bali sanggup mengambil peran sebagai enklaf dan benteng signifikan terakhir peradaban Hindu-Buddha di Kepulauan Nusantara pasca runtuhnya Majapahit. Masyarakat Bali pun menjadi populasi besar ahli waris penuh penjiwaan atas kekayaan budaya era Majapahit dan zaman Jawa Kuna selebihnya. Aneka warisan budaya tersebut menemukan suaka atau bahkan mesin pembeku waktu, sehingga kekayaan budaya tersebut tetap menjadi bagian hidup keseharian mereka dan bahkan menjadi hal signifikan. Hasilnya adalah, aneka warisan budaya tersebut terus dapat sintas melewati pertambahan abad. Sebaliknya di Jawa, pasca runtuhnya Majapahit pada 1500an, banyak hasil budaya dari zaman Jawa Kuna, mengompromikan warna dan orisinalitasnya. Bahkan ada pula yang terpinggirkan menjadi tidak signifikan. Hal ini merupakan konsekuensi dari dialektika dengan pihak dominan baru yaitu Islam. Spesifik pada Nagarakretagama, satu urun penting masyarakat Bali dalam menjaga eksistensi kitab tersebut terjadi pada 1740. Seorang bernama Arthapamasah, menyalin naskah Nagarakretagama ke berlembar-lembar lontar baru. Pekerjaan ini dilakukan karena keropak lontar sebelumnya—kemungkinan adalah hasil tulisan langsung Mpu Prapanca—telah sangat rapuh karena faktor usia. Tradisi literasi dari zaman Jawa Kuna, masih mengandalkan lembaran daun lontar. Penyalinan ulang secara berkala atas isi lontar tua ke lontar baru adalah pola lazim era tersebut. Cara standar ini untuk memastikan pengetahuan dari suatu karya tulis dapat terus lestari. Tak terelakkan lembar lontar memiliki batas ketahanan fisik seiring pertambahan umur karena kelembaban. Perihal keberadaan kitab Nagarakretagama, dalam masyarakat Bali rupanya sangat sedikit pihak yang tahu atau berkesempatan mengaksesnya. Sarjana Eropa sudah menjelajahi Bali sejak 1850-an, guna mencari tahu berbagai kekayaan pustaka aneka kitab kuno yang dimiliki para cerdik-pandai dan penguasa Bali. Sosok perintis tersebut adalah R Friederich. Namun, hingga 1890, ia belum menemukan atau mendapat laporan keberadaan naskah Nagarakretagama tersebut ada di Bali. Dimungkinkan Dua Hal Masyarakat moderen di luar wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Bali baru mengetahui keberadaan naskah Desawarnana atau Nagarakretagama pada 1894. Artinya, hampir setengah abad setelah R Friedrich blusukan di Bali. Penemuan kembali secara perdana Nagarakretagama di era moderen adalah dalam wujud keropak lontar hasil salinan 1740 terjadi di Pulau Lombok, tetangga Bali di arah timur. Lontar karya Arthapamasah untuk memerpanjang umur anggitan Mpu Prapanca menjadi salah satu koleksi pustaka Puri Cakranegara, yakni istana milik Kerajaan Karangasem Bali yang dipergunakan sebagai tempat memerintah vazal dan koloni Lombok. Penemuan kembali Nagarakretagama dimungkinkan terjadi karena adanya gesekan dua hal. Pertama, bentangan kekuasaan kerajaan-kerajaan Bali secara tradisional telah melampaui batas-batas alam Pulau Bali. Hingga 1700-an, perbawa dan taji kekuatan kerajaan asal Bali pernah melingkupi Blambangan atau Ujung Timur Pulau Jawa, yakni daerah-daerah yang kini dikenal sebagai Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Jember, dan Lumajang. Lombok pada 1890-an merupakan sisa terakhir dari cakupan luas kekuasaan kerajaan Bali di luar Pulau Bali. Hal kedua, kampanye geopolitik ekspansif Pax Neerlandica oleh Belanda pada tahun 1800-an, yakni ambisi menguasai dan memerintah seluas luasnya wilayah Kepulauan Nusantara. Untuk mewujudkan hal itu, Belanda harus melakukan ekspedisi militer memerangi dan menaklukkan berbagai kuasa lokal yang menolak tunduk. Kerajaan Karangasem Bali yang berkuasa hingga Lombok menjadi salah satu kerajaaan lokal pantang menyerah. Taktik ekspedisi militer Belanda mengakhiri peperangan internal antara penguasa Bali dengan rakyat Sasak di Lombok dipilih dalam penaklukan Lombok pada 1894. Pada gelombang II ekspedisi militer, Belanda merebut dan memporakporandakan Puri Cakranegara. Tragedi berdarah 18 November 1894, telah membunuh ribuan penghuni puri. Peristiwa tragis 130 tahun lalu, berupa penjarahan oleh para serdadu Belanda terhadap isi puri, terutama berkilo-kilo emas dan perak juga kebakaran besar yang menghanguskan seisi kompleks puri, dipicu meledaknya stok mesiu di salah satu bagian dalam puri. Hampir saja keropak lontar Nagarakretagama salinan Arthapamasah ikut musnah dimangsa api. Saat itu, berbagai kitab lontar koleksi pustaka puri jelas bukan hal menarik perhatian untuk dipedulikan serdadu dan umum. Beruntung, dalam ekspedisi militer ke Lombok, pemerintah Belanda menugaskan pula seorang ahli sastra kuno dan sejarah bernama JLA Brandes. Ia diberi tugas khusus untuk dapat mengidentifikasi dan menyelamatkan berbagai peninggalan budaya penting milik Kerajaan Karangasem. Naskah Nagarakretagama merupakan temuan terpenting yang berhasil diselamatkan Brandes dari amuk peperangan di Lombok. Kini, yang dahulu merupakan Puri Cakranegara megah sudah musnah. Hampir semua bagiannya menjadi kawasan perniagaan berupa pertokoan. Sedikit sisa keelokan masa lalunya sebelum tragedi penghancuran 1894 adalah Taman Mayura, yang kini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kembali Menemukan Tempat Di sisi lain, pasca tragedi Puri Cakranegara, Nagarakretagama berangsur-angsur kembali menemukan tempat mantap dan terhormat dalam jagad literasi, tak hanya di Indonesia dan Belanda, tetapi mendunia. Pengakuan resmi sebagai Memory of the World oleh UNESCO pada 2008 adalah bukti. 130 tahun terakhir, Nagarakretagama tak kekurangan atensi. Berbagai pihak dari ilmu sastra dan bahasa kuno serta pakar sejarah tertarik mengkajinya. Hingga akhirnya terbit naskah beraksara Bali dengan transliterasi huruf Latin, sederet cetak dengan terjemahan modern, juga bermacam tulisan analisis tentang aneka pengetahuan yang termuat di dalam kitab. Pada 1970, naskah Nagarakrtagama temuan di Puri Cakranegara dikembalikan Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia, setelah bertahun-tahun disimpan pihak Belanda sebagai salah satu trofi kejayaan kolonialisme mereka di Nusantara. Momen pengembalian bertepatan dengan kunjungan Presiden Soeharto ke Belanda. Pengembalian manuskrip sepenting Nagarakretagama bisa ditafsir sebagai bentuk keseriusan Belanda memerbaiki hubungan diplomatik dengan Indonesia yang pernah sangat buruk pada pertengahan 1950-an hingga 1960-an. Berkaitan dengan sengketa wilayah Irian Barat yang kini lebih dikenal sebagai Papua. Hal status terhormat Nagarakretagama sebagai sumber literasi sastra dan sejarah, tercatat telah ada 21 buku dan tulisan sebagai penyambung pengetahuan dari kitab kuno tersebut bagi orang-orang modern sejak awal 1900-an hingga saat ini. Daftar rincian menurut waktu terbit masing-masing publikasi tersebut adalah sebagai berikut:
Referensi: Linde, Herald van der. (2024). Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire. Melton Mowbray: Moonsoon Books Muljana, Slamet. (2011, Cetakan V). Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LkiS Permana, R Cecep Eka. (2016). Kamus Istilah Arkeologi-Cagar Budaya. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Prapanca, Mpu. (2019, Edisi Revisi HC), Kakawin Nagarakertagama (Damaika Saktiani dkk, Penerjemah). Yogyakarta: NARASI Prapanca, Mpu. (2017). Desawarnana: Saduran Kakawin Nagarakertagama untuk Bacaan Remaja (Mien Ahmad Rifai, Penyadur). Depok: Komunitas Bambu. Swantoro, P. (2016, Cetakan III). Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |