Para pakar sejarah umumnya berpendapat bahwa Prapanca sebatas paraban atau nama samaran sang penulis Nagarakretagama. Dalam istilah penulisan moderen, lazim menyebut nama samaran penulis sebagai nama pena. Namun, Prapanca menuliskan aksara dan kata dalam kitab bukan memakai pena. Ia memakai alat berupa pisau penoreh kecil untuk menulis aksara ke lembar daun lontar sebagai media tulis.
Tentang tokoh Prapanca dan nama asli sebenarnya, para ahli sejarah dan sastra yang menerjemahkan dan meneliti Nagarakretagama sejak ditemukan 1894 tidaklah satu suara. Mereka terpilah menjadi tiga kelompok dan masing-masing memiliki tafsir berlainan berdasar pada kandungan informasi dalam pupuh 17 bait 8 Nagarakretagama: Ṅkan tekiṅ maparab Prapañca tumutan lěṅěṅ aṅiriṅ i jőṅ nareśwara, tan len saṅ kawi putra saṅ kawi samenaka dinulur anānmateṅ maṅő, dhammādhyakṣogatan sira těkap narapati sumilih ri saṅ yayah, sakweh saṅ wiku boddha maṅjuru paḍāṅatuturakěn ulah nireṅ daṅū. 1. Prapanca Ditafsirkan Sebagai Dharmmadhyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra Tafsir yang dipelopori H Kern seorang penerjemah komprehensif perdana Nagarakretagama ke bahasa modern, yang terbit mulai dari artikel majalah pada 1905-1914 hingga dibukukan pada 1919. Kern seperti melanjutkan hasil kerja JLA Brandes, yang setelah menyelamatkan naskah Nagarakretagama dari reruntuhan Puri Cakranegara pada 1894, kemudian menerbitkan edisi pendahuluan berupa cetak naskah beraksara Bali pada 1902. Kern menyimpulkan dan berpendapat bahwa Prapanca adalah sang Dharmadhyaksa Kasogatan atau menteri urusan agama Buddha Kemaharajaan Majapahit yang menjabat pada era pemerintahan Maharaja Hayam Wuruk. Kern lebih condong menganggap Prapanca sebagai nama asli. Menurut Kern, Prapanca dapat ikut serta ke dalam rombongan muhibah Hayam Wuruk ke Lamajang adalah dari status jabatan tinggi yang diembannya. NJ Krom yang memberi pengantar untuk Nagarakretagama terjemahan Kern edisi 1919 pun berpendapat sama bahwa penulis Nagarakretagama adalah seorang Dharmadhyaksa Kasogatan. Slamet Muljana, sejarawan Indonesia menjadi orang pertama yang terjemahkan Nagarakretagama ke bahasa Indonesia pada 1953, pun sebagai pendukung tafsir Kern. Muljana bahkan mencoba mencari lebih lanjut identitas Prapanca yang konon adalah Dharmmadhyaksa Kasogatan di era Maharaja Hayam Wuruk. Menurut Slamet Muljana, untuk memecahkan persoalan tersebut, ia mengajak melakukan kajian lebih saksama tentang Nagarakretagama. Ia mengecek isi semua piagam yang pernah dikeluarkan pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Pembahasan demikian diuraikan Muljana dalam buku Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, terbit perdana pada 1979. Pada Cetak ulang buku oleh penerbit Lkis edisi 2011 berjudul Tafsir Sejarah Nagarakretagama, topik pencarian identitas asli Prapanca dipaparkan Muljana pada halaman 290-315. Muljana merujuk pupuh 32 bait 4 Nagarakretagama tentang kunjungan Prapanca ke taman bertingkat di Sagara, di daerah Keta, bahwa nama sang pujangga diduga terdiri dari 5 aksara Kawi. Menurut Slamet Muljana, nama asli Prapanca adalah Dhammmadhyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra, yang merupakan putra Dhammmadhyaksa Kasogatan pendahulunya Dang Acarya Kanakamuni yang telah menjabat sejak era Jayanegara. Menurut Muljana, Nadendra mulai menggantikan Kanakamuni pada sekitar antara 1351 hingga 1358. Nama Nadendra diperoleh Muljana merujuk isi Piagam Trowulan 1358 Masehi dan Piagam Sekar. Sedangkan nama Kanakamuni didapatkannya dari isi Piagam Sidateka1323 Masehi. Jawaban tentang Dang Acarya Nadendra memakai nama samaran Prapanca disebut Slamet Muljana karena sang pujangga tak suka diketahui ciri-cirinya. Bahkan menurut Muljana, Prapanca menulis Nagarakretagama saat sudah tak memegang jabatan tinggi dan harus tinggal di pedesaaan. Tafsir bahwa Prapanca beridentitas seorang pejabat tinggi Dharmmadhyaksa Kasogatan merupakan tafsir paling populer. Beberapa model terjemahan lain Nagarakretama setelah karya Kern maupun Muljana ternyata mengikuti pemaknaan tersebut. Beberepa karya terjemahan berbahasa Indonesia pada 15 tahun terakhir yang mengikuti Kern dan Slamet Mulyana, adalah terjemahan I Ketut Riana 2009, terjemahan Damaika Saktiani dkk 2015, saduran Mien Ahmad Rifai 2017. 2. Prapanca Ditafsirkan Sebagai Putra Dharmmadhyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra TGT Pigeaud yang pada 1960-1963 mempublikasikan terjemahan Nagarakretagama berikut aneka analisis tentang isinya dalam lima jilid berkesimpulan dan berpendapat berbeda dengan Kern dan Krom hal arti pupuh 17 bait 8 Nagarakretagama, juga detail latar belakang dan identitas Prapanca sang penulis kitab tersebut. Menurut Pigeaud, bukan Prapanca yang disebut sebagai Dharmmadhyaksa dalam pupuh 17 bait 8, melainkan ayah Prapanca. Prapanca dapat bergabung dalam rombongan muhibah maharaja karena jabatan tinggi sang ayah. Karena Prapanca harus mengampu beberapa tugas sang ayah yang tua usia dan tidak bisa mengikuti utuh muhibah dengan cara mendampinginya. Buku baru Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire karya Herald van der Linde tentang sejarah Tumapel-Singhasari dan Majapahit, adalah pendukung tafsir ini. 3. Prapanca hanyalah pujangga magang di bawah Dharmmadhyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra Tafsir ketiga yaitu menurut PJ Zoetmulder diambil dari pembacaan secara harafiah atas penggambaran diri dan asal-usul Prapanca sang pujangga dalam pupuh 17 bait 8 Nagarakretagama. PJ Zoetmulder menulis di buku Kalangwan pada subjudul “Prapañca dan Nāgarakŗtāgama” halaman 440-451. Ia berpendapat Prapanca bukan seorang dharmmadhyaksa, bukan pula putra seorang dharmmadhyaksa. Prapanca hanyalah pujangga magang bawahan Dharmadhyaksa Kasogatan Dang Acarya Nadendra. Ia ikut dalam rombongan muhibah Maharaja Hayam Wuruk karena dipercayai sang dharmmadhya untuk mendokumentasikan perjalanan panjang rombongan maharaja keliling negeri melalui tulisannya. Zoetmulder telah memaparkan dua tafsir lainnya, yakni tafsir Prapanca sebagai seorang Dharmmadhyaksa serta tafsir Prapanca putra Dharmmadhyaksa . Kalangwan dalam “Prapañca dan Nāgarakŗtāgama” karya Zoetmulder dapat disebut sebagai bacaan pemintas dalam topik bahasan tentang identitas asli pujangga penulis Nagarakretagama karena memuat tiga tafsir sekaligus tentang asal-usul Prapanca. [Yosef Kelik (Periset di Museum Ullen Sentalu)] Referensi : Linde, Herald van der. (2024). Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire. Melton Mowbray: Moonsoon Books Muljana, Slamet. (2011, Cetakan V). Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LkiS Prapanca, Mpu. (2019, Edisi Revisi HC), Kakawin Nagarakertagama (Damaika Saktiani dkk, Penerjemah). Yogyakarta: NARASI Prapanca, Mpu. (2017). Desawarnana: Saduran Kakawin Nagarakertagama untuk Bacaan Remaja (Mien Ahmad Rifai, Penyadur). Depok: Komunitas Bambu. Riana, I Ketut (2009). Kakawin Dēśa Warņnana uthawi Nāgara Kŗtāgama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS Zoetmulder, PJ. (1983). “Prapañca dan Nāgarakŗtāgama” dalam PJ Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Dick Hartoko SJ, Penerjemah). Jakarta: Djambatan
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |