Sangat perlu dicatat adalah di antara gelar-gelar nama utama raja Dinasti Mataram Islam, atau bahkan gelar nama utama para raja Jawa sejak zaman Hindu-Buddha, Amangkurat terbilang adalah yang perdana dipakai lebih dari sekali. Bahkan, gelar nama Amangkurat resminya tercatat sampai dipakai oleh empat raja yang bertakhta pada kurun 1646-1720 dalam Dinasti Mataram Islam. Inilah sisi cerita lebih dari gelar utama Amangkurat jika dibandingkan gelar-gelar nama utama Senopati Ingalaga, Hanyakrawati, maupun Hanyakrakusuma. Bukankah gelar Senopati Ingalaga juga terus diwarisi dan digunakan oleh para raja Dinasti Mataram sepeninggal Panembahan Senopati? Gelar nama Senopati Ingalaga memang selalu disertakan sebagai bagian gelar lengkap para raja Dinasti Mataram Islam, bahkan hingga saat ini. Namun, yang menggunakan Senopati Ingalaga sebagai gelar nama utama hanya Panembahan Senopati sang raja pertama Kerajaan Mataram Islam. Oleh para penerusnya, Senopati Ingalaga lebih merupakan gelar pelengkap, bukan gelar nama utama. Tidak ada di antara para pengganti Panembahan Senopati yang dikenal dalam penyebutan gelar nama versi ringkas Senopati Ingalaga II atau Senopati Ingalaga III dan seterusnya. Mereka nyatanya memang selalu lebih dikenal dan disebut dalam gelar nama lainnya. Kembali membahas tentang Amangkurat, yang perdana menggunakan gelar ini adalah raja keempat dalam urutan para raja yang bertakhta tatkala Mataram Islam masih utuh sebagai satu kerajaan. Susuhunan Amangkurat I atau Amangkurat I saja, demikian ia terutama dicatat dalam arustama sejarah Indonesia. Raja ini bertakhta 1646-1677. Masa pemerintahan Amangkurat I terentang tepat setelah masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Amangkurat I ini memang merupakan putra dari Sultan Agung. Pada 1677, Amangkurat I terguling oleh Pemberontakan Trunajaya dan lalu wafat di Tegal dalam pelariannya untuk mencari bantuan dari VOC. Setelah melalui peperangan tiga tahun dengan dibantu VOC hingga akhirnya memadamkan pemberontakan Trunajaya, Adipati Anom yang merupakan putra sulung Amangkurat I sekaligus putra mahkota resmi Mataram semasa ayahnya hidup ternyata naik takhta seraya memilih kembali menggunakan gelar nama utama Amangkurat, bukannya menciptakan suatu gelar nama utama baru lainnya sebagaimana dilakukan empat pendahulunya. Raja kelima Mataram Islam ini lantas dikenal sebagai Amangkurat II, menandakan bahwa ia memilih mewarisi atau melanjutkan penggunaan gelar nama raja yang telah digunakan ayahnya. Pilihan yang diambil Amangkurat II pada 1680 tadi terbilang mengakhiri pola gelar nama raja Mataram Islam sejak era Panembahan Senopati Ingalaga, juga menciptakan pola baru yang lazim untuk para raja Mataram Islam setelah dirinya. Jika sebelumnya gelar nama raja selalu berganti pada setiap naik takhtanya raja baru, sejak 1680 itu gelar nama raja jadi dapat diulang atau diteruskan. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan bahwa pilihan Amangkurat II untuk mewarisi gelar nama dari ayahnya adalah buah pengaruh pergaulannya dengan orang-orang Belanda serta Eropa lainnya dalam VOC. Lebih lagi VOC memang sangat berjasa membantu raja kelima Dinasti Mataram Islam ini dalam memadamkan pemberontakan Trunajaya, sehingga ia dapat memastikan hak warisan takhtanya. Bukan yang aneh jika Amangkurat II sampai beroleh pengetahuan dari orang-orang VOC bahwa di Eropa merupakan kelaziman jika suatu gelar nama raja dipakai beberapa kali oleh beberapa penguasa berbeda dalam suatu kerajaan. Praktik demikian bahkan dapat menegaskan keterkaitan antara beberapa raja dalam suatu dinasti. Amangkurat II yang pernah memiliki sengketa warisan takhta dengan beberapa saudara laki-lakinya tentu jadi melihat manfaat dari melanjutkan gelar nama ayahnya. Ini dapat menjadi salah satunya caranya untuk menunjukkan kepada banyak orang bahwa dia lah ahli waris utama Amangkurat I. Amangkurat II adalah raja yang tercatat memindahkan ibukota dan istana Mataram Islam dari Plered ke Kartasura. Sepeninggal Amangkurat II yang wafat pada 1703, praktik mengulang gelar nama raja ternyata tetap berlanjut. Putra mahkotanya yang sebelum menjadi Adipati Anom pernah bernama muda Raden Mas Sutikna rupanya memilih naik takhta dengan bergelar nama Susuhunan Amangkurat III. Raja keenam Dinasti Mataram Islam ini bertakhta di istana Mataram Islam selama dua tahun saja, 1703-1705, lalu terusir dari sana karena kalah berperang dengan paman sekaligus mertuanya, Pangeran Puger. Pada 1719-1726, Amangkurat kembali dipilih sebagai gelar nama oleh raja kedelapan Mataram Islam. Cucu Amangkurat I ini tepatnya bergelar nama Susuhunan Amangkurat IV. Secara resmi, Amangkurat IV adalah yang terakhir di antara deretan para raja Mataram Islam pengguna gelar nama Amangkurat. Di samping lazim dicatat memakai penanda numerik di belakang gelar nama utama mereka, para raja bergelar nama Amangkurat dalam Dinasti Mataram Islam juga memiliki pencatatan khas secara tradisional Jawa. Amangkurat I disebut juga Amangkurat Agung, Amangkurat II disebut juga Amangkurat Amral, Amangkurat III disebut juga Amangkurat Mas, sedangkan Amangkurat IV disebut juga Amangkurat Jawi. Hal semacam ini menandakan bahwa penggunaan gelar nama Amangkurat oleh sejumlah raja Dinasti Mataram Islam terjadi di suatu periode peralihan dalam perihal gelar nama raja. Peralihan yang dimaksud adalah dari gelar nama tradisional Jawa yang selalu berganti di setiap raja menjadi berulang serta mengenal penanda urutan numerik seperti dilakukan para raja di Eropa. (Yosef Kelik/Departemen Riset Museum Ullen Sentalu) *Bersambung ke Bagian 3 yang membahas gelar nama Pakubuwana dan Hamengkubuwana
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |