Henk Schulte Nordholt dalam Outward Appearances: Tren, Identitas, Kepentingan (2005) mengatakan bahwa batik Pasisir awalnya hanya melayani preferensi strata menengah ke atas di antara penduduk etnis campuran. Namun setelah peristiwa Java Oorlog atau Perang Jawa (1825-1830), di luar batik kraton yang merupakan pakaian eksklusif keluarga kerajaan dan bangsawan Jawa, orang-orang Belanda menjadikan batik Pasisir sebagai pakaian pilihan untuk kaum wanitanya dan pakaian santai bagi kaum prianya. Perancangannya pun dilakukan wanita Indo-Eropa di bawah penguasaan pemerintah kolonial Belanda. Sejak saat itulah industri-industri batik Pasisir mulai berkembang menjadi bisnis komersial di bawah wanita-wanita Indo-Eropa. Kesuksesan mereka kemudian ditiru dan diikuti para pengusaha batik Peranakan Tionghoa maupun Keturunan Arab. Mereka juga memproduksi batik Pasisir yang beraneka warna dengan ragam hias naturalistis dan memperlihatkan pengaruh kebudayaan asing yang kuat dan beragam. Rens Heringa dan Harmen C. Veldhhuisen dalam Fabric of Enchantment Batik from the North Coast of Java (1996) mengatakan jenis kain batik Pasisir paling tua adalah kain panjang. Kain ini memiliki format dan tata letak mirip dengan kain impor dari India. Dalam hal format, kain batik Pasisir umumnya dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, bagian perbatasan/ pinggiran kain yang kemudian disebut “sikilan (menyerupai kaki)”. Kedua, bagian kain diantara pinggiran disebut “badan (tubuh)”. Ketiga, bagian kain yang membentuk pola persegi dengan blok warna tertentu disebut bagian “kepala”. Sementara terkait tata letak kain, masing-masing kelompok memiliki preferensi sendiri. Tak terkecuali masyarakat peranakan Tionghoa di Jawa. Pada kain batik Peranakan Tionghoa, bagian kepala kain umumnya berbentuk segitiga, yang kemudian disebut “tumpal”. Dalam kepercayaan mereka, tumpal adalah istilah yang menandakan “undangan baru” atau simbol pintu (sebagai pengontrol diri pemakainya). Heringa (1996) mengatakan bahwa bagian-bagian desain keseluruhan pada batik Pasisir seperti badan, kepala, dan sikilan menyajikan metafora antropomorfik yang kemungkinan berhubungan dengan status perkawinan pemakainya. Misalnya pada kain panjang Peranakan Tionghoa. Apabila kepala kain di kedua ujung memiliki warna yang sama, maka melambangkan dua manusia atau seorang wanita yang sudah menikah. Sementara, ketika kepala dan leher kain (batas antara kepala dan badan kain) berbeda pola/warna atau keduanya, maka melambangkan pasangan pengantin sebelum pernikahan, karena sementara mereka masih terpisah. Jenis kain peranakan Tionghoa yang seperti ini disebut kain panjang sisihan (kain panjang dengan belahan yang berbeda). Menariknya, kain sisihan dapat digunakan masyarakat umum (selain pengantin). Kain ini biasanya memiliki satu ujung kain yang sebagian besar berwarna merah dan ujung kain lainnya berwarna biru atau hitam yang kontras. Kain tersebut dapat dikenakan dengan dua cara: wanita muda akan memperlihatkan bagian yang terang, sementara wanita yang lebih tua memperlihatkan bagian gelap. Khususnya di Pantai Utara Jawa, di sana juga dikenal jenis kain panjang yang menunjukkan bagian badan kain dengan tepi putih kecil atau seret sehingga tidak ada kepala kainnya. Jenis kain ini disebut tipe ‘buntungan’, yang berarti “tanpa masalah”. Kain ini dipakai oleh wanita pasca menopause, yang telah meninggalkan tahun-tahun reproduksi mereka. Menurut Heringa (1996), format kain buntungan ini diadopsi sebagai pakaian khusus dari Kerajaan Jawa pada kuartal pertama abad XX. Hal ini dapat dilihat dari format seret (kain dengan perbatasan polos) pada kain batik yang dikenakan wanita pasca menopouse di Keraton Mataram Islam. Mereka menggunakan kain panjang dengan cara melilitkan kain pada tubuh dan membentuk spiral yang meruncing ke arah pergelangan kaki dengan cara yang lebih elegan dibandingkan pola lilit kain wanita Pesisir. Bentukan spiral ini kemudian disebut wiru. Selain kain panjang, masyarakat Pesisir pada awal abad XIX juga mengenal sarung (rok tubular). Seperti periode sebelumnya, jenis kain ini dianggap sebagai busana wanita dari berbagai latar belakang ras yang bekerja sebagai budak. Heringa (1996) mengatakan bahwa meski perbudakan di Jawa dihapus tahun 1860 tetapi hingga abad ini status sosial masih menempatkan wanita bebas saja yang diizinkan untuk mengenakan kain panjang. Hal itulah yang melatarbelakangi perbedaan format desain sarung. Dalam versi tertua, bagian ‘kepala’ pada sarung akan membagi dua badan. Sementara dalam versi muda, bagian ‘kepala’ pada sarung ditemukan di salah satu ujung kain. Sarung juga digunakan dengan cara tertentu. Wanita muda dan kalangan bawah umumnya mengenakan sarung dengan tipe klasik, yakni meletakkan deretan segitiga ganda (tumpal) di bagian belakang dan bahan berlebihan dilipat di depan untuk menyembunyikan jahitan. Bentuk yang lebih formal adalah dengan melilitkan sarung dengan kepala di depan. Bagian kepala pada sarung kemudian dilipat dari kiri ke kanan menuju kaki kanan, dengan setengah dari baris tumpal terlihat (menyerupai kain panjang). Cara penggunaan sarung seperti ini umum dilakukan oleh wanita bebas. Mereka biasanya budak atau wanita lain yang berasal dari keluarga rendahan yang telah naik status karena menikah dengan pria Eropa dan Tiongkok (pencetus mode ini). Gaya serupa juga digunakan pria kalangan bawah, hanya saja mereka melilitkan sarung dari arah terbalik sehingga ujung lipatan tepat di sebelah kiri. Namun bagi yang berlatar belakang campuran, kepala sarung dimodifikasi dengan gaya lokal dan Tiongkok. Bahkan ditambah deretan berlian, menyerupai rok pengantin sutra Tiongkok. RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu).
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |