Kain tersebut termasuk golongan kain cindé. Seperti telah dibahas sebelumnya dalam artikel ‘Cindé sebagai Jejak Akulturasi India-Jawa’, awal mula kain cindé di Jawa merupakan adopsi kain patola di India. Kesinambungan ini tidak hanya dari motif kain, tetapi juga terdapat pada fungsi cindé dan patola pada busana pengantin.
Salah satu penggunaan kain cinde di Jawa adalah sebagai pelengkap busana pengantin. Contoh lebih spesifik bisa dilihat dalam tata busana pengantin adat Gaya Keraton Yogyakarta, yang juga disebut busana kampuhan kebesaran. Tata busana ini sering disebut sebagai Paes Ageng karena dipadukan dengan rias wajah pola Paes Ageng dan perhiasan Raja Kaputran/Kaputren. Menurut Sri Supadmi Murtiadji dan R. Suwardanidjaja dalam Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta (1993), tiga jenis pakaian bermotif cinde pada busana pengantin Paes Ageng, yaitu: udet, kain panjang cindé bagi pengantin wanita, dan celana panjang cindé bagi pengantin pria. Udet merupakan selendang kecil berukuran 2,5 meter x 1,25 meter bermotif cinde. Selendang tersebut berfungsi sebagai sabuk atau ikat pinggang yang diikatkan di bagian luar busana kampuh. Sementara untuk kain panjang dan celana cindé dalam tata busana pengantin Paes Ageng digunakan sebagai busana dasar dari kampuh. Motif cindé pada udet, kain panjang cinde bagi pengantin wanita, dan celana panjang cinde bagi pengantin pria bukan hanya hiasan, tetapi memiliki makna simbolis sebagai harapan baik dan petuah bagi pasangan pengantin. Sebagaimana falsafah Jawa, tata busana pengantin harus mengandung makna filosofi yang baik. Udet cindé pada busana pengantin wanita bermakna harapan sang pengantin agar siap sedia menggendong, apabila diberi anak. Kain dan celana cindé dalam tata busana pengantin adat Gaya Yogyakarta memiliki 2 macam motif, yaitu motif slarak kandang dan motif biasa. Motif slarak kandang berupa ornamen garis-garis tebal di bagian tepi kain dan menjadi pembeda dengan motif biasa yang tidak memiliki garis tebal di tepinya. Menurut Sri Widayanti dalam Tinjauan Filsafat Seni Terhadap Tata Rias dan Busana Pengantin Paes Ageng Kanigaran Gaya Yogyakarta (2011), motif slarak kandang mengandung makna tata kesusilaan yang harus dijaga. Dengan demikian, penggunaan kain cinde bukan sekadar busana dan estetika pasangan pengantin tetapi memiliki makna serta harapan sang pemakai. DEFI RAHMADANI (Mahasiswa Program Studi Sejarah UGM, Magang Museum Ullen Sentalu 2025) Daftar Pustaka Sri Widayanti. (2011). Tinjauan Filsafat Seni Terhadap Tata Rias dan Busana Pengantin Paes Ageng Gaya Yogyakarta. Jurnal Filsafat, 21(3), 240 - 256. Diakses melalui https://media.neliti.com/media/publications/85852-ID-tinjauan-filsafat-seni-terhadap-tata-ria.pdf R. Sri Supadmi Murtiaji, R. Suwadanidjaja. (1993). Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mari S. Condronegoro. (1995). Busana Adat Kraton Yogyakarta: Makna dan Fungsi dalam Berbagai Upacara. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
October 2025
Categories |