Awal mula kain cindé dalam budaya Jawa adalah hasil interaksi dengan India. Menurut Siti Maziyah dengan merujuk pendapat Sukla Das (2020), tampilan motif kain cindé di Jawa banyak mengadopsi tampilan motif pada patola, kain tenun sutra dari Gujarat, India. Namun, cindé di Jawa menghasilkan motifnya memakai teknik rintang warna, tak lagi mengikuti patola yang motif-motifnya berupa tenunan.
Patola sendiri diyakini telah eksis di India sejak abad ke-4 SM. Menurut Sukla Das (1992), bukti keberadaan patola pada abad tersebut tercantum dalam Kitab Brahmanjala Sutra. Di India, patola digunakan sebagai pakaian untuk pengantin perempuan dan menyimbolkan keberhasilan, kebahagiaan, serta kemakmuran. Maraknya aktivitas perdagangan internasional pada abad ke-5 M, membuat kain patola menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Jawa. Motif pakaian arca Durga dan ornamen dinding Candi Prambanan pada abad ke-9 M menjadi bukti tertua kehadiran motif patola di Jawa. Bukti lainnya juga ditemukan pada pakaian arca Durga dan arca Prajnaparamita dari Candi Singasari, abad ke-13 M. Ini menunjukkan bahwa motif patola sudah masuk dan berkembang di Jawa sejak masa Hindu-Buddha. Bahkan motif tersebut dimungkinkan menjadi cikal bakal motif batik di Jawa. Perkembangan cindé sebagai bagian dari motif batik di Jawa dapat dilihat dari kaitan motif tersebut dengan motif batik yang berabad-abad setelahnya, menjadi penanda kepangkatan para bangsawan. Hal ini terkonfirmasi dari riset Muhammad R. Nugraha (2020) pada naskah Bab Sinjang (KBG 555), koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Berdasarkan naskah tersebut, Nugraha (2020) mengidentifikasi 10 motif cinde, yaitu: cindé sekar, cindé jonggrong, cindé gopok, cindé sarilaya, cindé jlamprang, cindé wilis, cindé gimaran, cindé cakar, cindé sulam, dan cindé mawar. Berbagai motif tersebut lazim ditemukan dalam busana para bangsawan. Dengan demikian, meski cinde merupakan hasil akulturasi budaya India, tetapi Jawa adalah lahan subur perkembangan motifnya. Bahkan kain cinde di masa lalu menjadi salah satu komoditi mewah yang hanya mampu dimiliki kalangan bangsawan. Dengan demikian, cindé lebih dari sekadar kain indah bermotif cerah. Jejak nyata akulturasi India–Jawa ini tumbuh menjadi simbol budaya, status, sekaligus kekayaan estetika dalam budaya Jawa. [DEFI RAHMADANI (Mahasiswa Program Studi Sejarah UGM, Magang Museum Ullen Sentalu 2025)]
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
October 2025
Categories |