Perubahan pertama pada gaya batik orang Indo-Eropa terlihat jelas pada bagian ‘kepala’ kain. Heringa dan Veldhuisen (1997), mengatakan bahwa ‘kepala’ sarung Indo-Eropa pertama kali menunjukkan elaborasi yang meningkat dalam gaya pembuat atau pemakai. Apabila sebelumnya mereka meletakkan bagian gigi balang di area tengah ‘kepala’ menutupi segitiga tradisional seperti wanita Peranakan Tionghoa, pada tahap ini wanita Indo-Eropa justu memperlihatkan bagian segitiga tradisional di antara elemen bunga Eropa yang disisipkan di ruang tengah (badan) atau di salah satu ujung kain dan menyusun bagian deretan berlian besar secara vertikal atau menggabungkan ke dalam banyak detail dekoratif. Gaya batik ini masih umum digunakan wanita Indo-Eropa di Pantai Utara Jawa sekarang.
Pada perkembangan kedua, pola tumpal tradisional Peranakan Tionghoa dimodifikasi oleh wanita Indo-Eropa dengan dua gaya baru. Pertama, ‘kepala’ sarung diubah menjadi elemen kain yang paling mencolok. Kedua, wanita Indo-Eropa mengenakan sarung dengan penyesuaian yang sedemikian rupa sehingga dekorasi baru dapat terlihat utuh. Sayangnya, pola ini kemudian diganti dengan desain bunga sugestif dari karangan bunga besar (desain floral). Salah satunya terlihat pada bagian ‘badan’ kain yang semakin beragam. Kain-kain Indo-Eropa umumnya dikenakan dengan lebih dari setengah panel bunga dan jahitan diselipkan dengan rapi di bawah lipatan. Khususnya bagian ‘kepala’ kain Indo-Eropa dipindahkan kira-kira selebar satu tangan dari ujung kain. Satu hal yang perlu dicatat bahwa cara Eropa melipat sarung justru berlawanan dengan cara orang Asia. Sebagaimana penuturan Ny. Forbes tahun 1888 dalam Heringa dan Veldhuisen (1997), ‘kepala’ kain harus dilipat lurus di sepanjang kaki kiri. Mode penutupan pakaian wanita di sebelah kiri ini biasa terjadi di Eropa. Kebiasaan ini diikuti untuk pakaian pria Eropa yang memiliki lipatan sarung tangan di sebelah kanan Menariknya, pada perkembangan kedua, desain Eropa dimasukkan dalam pola lokal dan menghasilkan interpretasi tradisi yang lebih bebas. Motif daun dan bunga pun berukuran semakin besar dari sebelumnya, tak terkecuali bunga Cina seperti bunga Teratai yang digambarkan secara tiga dimensi. Hal tersebut dilakukan orang Indo-Eropa untuk menunjukkan latar belakang campuran mereka. Latar belakang tersebut semakin terlihat jelas dengan munculnya kombinasi unsur Eropa dan Jawa Tengah klasik, meskipun dalam skema warna yang disesuaikan dengan gaya Pasisir. Pola yang berkembang sekitar abad XX ini awalnya hanya memenuhi permintaan satu kelompok pelanggan saja dan tidak hanya diproduksi orang Indo-Eropa. Oleh karena itu, perkembangan gaya batik Indo-Eropa juga terkait dengan fakta bahwa pembuat/pemakai tidak harus berasal dari kelompok etnis yang sama. Pada perkembangan gaya batik Indo-Eropa ketiga, muncul penambahan batas yang berliku-liku pada bagian bawah kain atau ‘sikilan’. Awalnya konsep mereka dikaitkan dengan konsep simbolik Sino-Jawa tentang ular yang diasosiasikan dengan air dan kesuburan dan batas ini paling sering ditemukan pada batik Peranakan Tionghoa. Untuk mengisyaratkan karakter Indo-Eropa, pola papan pada bagian ‘sikilan’ diganti elemen dekoratif seperti renda imitasi, busur, dan perbatasan. Variasi lebih lanjut muncul dalam bentuk tepi tenunan yang dianyam. Pada tahap di atas, sebagian besar warna tetap terbatas pada palet klasik, yakni mengacu pola batik Peranakan Tionghoa yang tetap berpegang pada kombinasi warna tradisional. Apabila batik Peranakan Tionghoa memiliki pola warna: bang-bangan atau merah dan putih untuk gadis muda, bang biru atau merah dan biru untuk wanita yang memiliki anak, dan irengan atau biru kehitaman di atas kain putih untuk lanjut usia; batik Indo-Eropa mengganti pola warna dasar merah dan biru menjadi warna biru dan hijau yang diinspirasi dari pola batik Indo-Eropa buatan Carolina Josephina von Franquemont (abad XIX). Selain warna, pada tahap ini batik Indo-Eropa juga ditambahkan dengan rangkaian warna tradisional batik di Pantai Utara Jawa seperti warna kuning. Uniknya, batik Indo-Eropa mengalami perkembangan hingga kuartal kedua abad XX (perkembangan terakhir). Pada tahap ini, batik Indo-Eropa melibatkan batik sutra dan lok kaleng dalam versi yang lebih halus dan sudah menjadi repertoar batik tradisional Pasisir. Batik Indo-Eropa mulai diproduksi komersial dan diekspor skala besar ke pulau lain. Heringa dan Veldhuisen (1997) mencatat bahwa di Sumatera dan Bali, batik Indo-Eropa berfungsi sebagai bagian dari kostum daerah dan hiasan upacara. Bahkan produksi jenis kain tiga negeri yang pencelupan warnanya di tiga lokasi terus berlanjut pada tahap ini. Dengan demikian, terjawab sudah kegelisahan orang Eropa sebelumnya karena fakta historis menunjukkan bahwa hubungan orang Eropa dengan Peranakan Tionghoa terbukti membawa keuntungan besar bagi Pemerintah Kolonial. Apalagi produksi batik Indo-Eropa mampu menjangkau ke luar Pasisir dan pusat perbatikannya mencakup sebagian besar wilayah Jawa Tengah. RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |