Selain catatan di atas, fakta sejarah juga menunjukkan bahwa kerajaan pertama di Jawa bernama Tarumanegara (abad V), dengan “Tarum” sebagai kata dasar dari namanya. Menurut KBBI, Tarum sendiri bersinonim dengan kata tanaman indigo atau nila, tanaman sumber pewarna biru bagi proses produksi kain. Dari analisis ini, kain bergambar bunga di sini dimungkinkan sebagai cikal bakal “Batik Jawa”.
Sejauh ini batik Jawa dibedakan menjadi dua jenis batik, yaitu batik pasisir dan batik pedalaman. Keduanya kemungkinan memiliki latar belakang yang sama sebagaimana ulasan di atas. Hanya saja, hingga kini sumber sejarah batik pasisir mungkin tak sebanyak batik pedalaman yang terekam dalam bukti bendawi seperti prasasti, arca atau relief, dan naskah Jawa (sejak abad VII). Batik pasisir lebih banyak hadir dari memori multipersepsi masyarakat Pesisir dan sebagian terekam dalam catatan bangsa-bangsa yang hadir di Pesisir. Menurut Edhie Wurjantoro dan Tawalinudin Haris dalam Kain Dalam Masyarakat Jawa Kuno (1995), motif-motif batik pedalaman berkembang sebagai hasil karya cipta raja dan keluarganya sehingga hanya boleh digunakan kalangan istana dan para bangsawan. Selain sebagai simbol status sosial, setiap batik juga syarat dengan makna filosofis sehingga penggunaannya disesuaikan dengan tujuan tertentu. Sebagai contohnya batik motif “parang’ yang motif garis miring diagonalnya diinspirasi tebing pantai, lalu beberapa ornamen melengkungnya diinspirasi oleh ombak lautan. Motif ini sering dipakai sebagai penanda tinggi-rendah kepangkatan bangsawan Jawa,. Sementara motif-motif batik pasisir abad XVI diinspirasi dari bangunan Islam, baik masjid ataupun makam seperti ornamen Masjid Mantingan di Jepara (1559), Makam Ratu Kalinyamat di Jepara (1579), dan Makam Sendang Dhuwur di Lamongan (1585) (Wurjantoro dan Harris, 1995). Seni dalam bangunan ini menampilkan ornamen meru, pohon hayat, mega mendung, candi, dan berbagai flora/fauna Pesisir yang seolah menjelma menjadi ciri khas motif batik pasisir hingga sekarang. Namun, sejak kolonialisme Belanda (abad XIX), batik Jawa mengalami perkembangan motif karena mendapat pengaruh dari Tiongkok, Asia Barat, dan Eropa. Pengaruh unsur budaya dari ketiga bangsa pertama kali teridentifikasi pada batik pasisir karena bangsa-bangsa asing umumnya tinggal atau menetap di daerah Pesisir Utara. Menurut Brilliant Hidayah dalam Seminar Busana Peranakan: Sejarah dan Budaya di Museum Sonobudoyo (29 Agustus 2018), sebagian warga keturunan asing tersebut untuk mengekspresikan kerinduan mereka pada tanah kelahirannya dengan membuat batik pasisir. (RESTU A RAHAYUNINGSIH ,Periset Museum Ullen Sentalu)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
October 2025
Categories |