ULLEN SENTALU
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak

KAJIAN

Artikel Riset Museum Ullen Sentalu tentang Jawa dan Nusantara

Kilasan Sejarah Produksi Gula di Jawa (Bagian 1)

8/3/2024

2 Comments

 
Picture
Gula tak cuma bahan pemanis bagi minuman dan makanan. Jika ditelaah, gula pun menyimpan kisah sejarah geliat masyarakat yang memproduksinya maupun mengkonsumsinya. Di Jawa, gula sejak era kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha telah dihasilkan oleh kerajinan skala rumahan. Salah satu istilah untuk menyebut warna merah pun adalah gula. Itu terkait dari arustama bentuk gula pada masa lalu yang memang lazim berupa bongkahan padat berwarna merah kecoklatan maupun merah kekuningan. Gula berbentuk bongkahan padat demikian dapat saja bervariasi sumbernya. Itu mulai dari aren, kelapa, siwalan, juga tebu.  
Pada awal abad XVII atau tahun 1600-an, tatkala perdana orang Belanda datang ke Nusantara, catatan laporan mereka pun turut menyebut soal produksi gula di beberapa daerah di Pulau Jawa. Cornelis de Houtman tentang pelayaran pertamanya ke Jawa menyebut adanya produksi gula di Banten, Jayakarta, Karawang, dan Jepara.

Produksi Gula Era VOC
Menguatnya kolonialiasme pihak Belanda turut rupanya membawa gula jadi produk yang makin penting. Budi dayanya pun jadi kian mengarah ke model industri agrikultur skala besar. Satu di antara penandanya ialah pada 1637 ketika otoritas VOC Belanda di Batavia memberi izin kepada seorang Tionghoa untuk memproduksi gula di Batavia dan Banten selama 10 tahun. Pengusaha gula Tionghoa tersebut lantas disebut mampu menghasilkan mencapai 3.000 pikul per tahunnya, yang mana per pikulnya dihargai duit  f18. Demikian cerita yang dikutip dari Suikerkultuur: Jogja yang Hilang, suatu dokumentasi pameran hasil kerjasama pada 2019 antara Bentara Budaya Yogyakarta dan Komunitas Roemah Tua.  

Dalam tempo sekitar sepuluh tahun, tempat penggilingan tebu di sekitar Batavia telah berkembang menjadi 23. Namun, pungutan pajak tinggi pada 1650 menciutkan jumlah penggilingan tebu ke angka 10 saja. Produksi gula di Jawa, termasuk di Batavia selaku daerah penghasil utama komoditas tersebut, mencapai booming pada 1690-1730. Terjadi perambahan Ommelanden atau daerah di luar benteng kota Batavia menjadi banyak lahan untuk pertanian berikut pengolahan hasilnya. Lahan pertanian tebu dan penggilingannya termasuk di antaranya. Berdasar isi Nusa Jawa: Silang Budaya 2, Jaringan Asia karya Denys Lombard, yang merujuk aneka laporan oleh Jan Hooyman dan Andries Teisseire menjelang akhir abad XVIII, pada 1710 pernah ada sampai dengan 131 penggilingan tebu di sekitar Batavia, yakni 82 beroperasi di timur Sungai Ciliwung dan 49 sisanya di sisi baratnya. Banyak dari 84 pengusahanya adalah orang-orang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa yang tersohor sebagai pengusaha penggilingan tebu kala itu antara lain Kwe Bok Kwa dan Nie Hoe Kong.

Pada tahun-tahun sesudahnya sepanjang sisa abad XVIII, jumlah penggilingan tebu di Batavia turun-naik, tapi secara umum tetap di bawah angka 1710. Karena efek Geger Pecinan 1740 yang disusul pemberontakan orang-orang Tionghoa di banyak tempat di Jawa sampai sekitar separo dekade kemudian, jumlah penggilingan tebu yang beroperasi 1740 di Batavia dan sekitarnya turun drastis tersisa 52 buah saja. Setelah naik lagi menjadi 65 buah pada 1750, maka pada 1750 mampu mencapai angka 70-80 penggilingan. Pada pertengahan abad XVIII itu, keseluruhan jumlah tempat produksi gula di Jawa ada 105 buah. Pasalnya selain oleh pabrik-pabrik di Batavia, gula diproduksi juga oleh tujuh pabrik di Banten, delapan di Cirebon, dan 13 pabrik di Provinsi Pantai Timur Jawa.
​
Merujuk isi buku The Island of Java karya John Joseph Stockdale pada 1811, produksi gula tebu di Jawa pada sekitar medio abad XVIII telah terindikasi mengarah kepada bentuk gula pasir alias gula berbentuk kristal. Secara kualitas, dengan terutama merujuk tingkat warna putih dan teksturnya, gula produksi Jawa terbagi ke dalam empat tingkatan. Gula kualitas pertama adalah yang memiliki warna paling putih serta bertekstur paling kering di antara empat gula produksi Jawa kala itu. Gula kualitas pertama ini diekspor ke Eropa. Gula kualitas kedua kurang putih dibandingkan gula kualitas pertama. Gula ini diekspor ke India bagian Barat. Gula kualitas ketiga kalah putih dan paling kecoklatan jika dibandingkan dua jenis gula sebelumnya. Gula ini diekspor ke Jepang. Gula jenis keempat sekaligus yang berkualitas paling rendah disebut gula dispens. Warnanya sangat cokelat, teksturnya kurang kering, dan digunakan untuk keperluan di kapal-kapal armada VOC.
bersambung bagaian 2
2 Comments
Indrayani link
17/3/2024 05:40:58 pm

Jadi tahu sejarahnya. Makasiiih

www.ut.ac.id

Reply
reyhan link
6/10/2024 03:32:36 pm

thanks a lot of information keren

Reply



Leave a Reply.

    Archives

    October 2025
    September 2025
    August 2025
    July 2025
    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    September 2021
    May 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021

    Categories

    All
    Budaya
    Kesehatan
    Pendidikan
    Sastra
    Sejarah
    Yogyakarta

MUSEUM ULLEN SENTALU
Jl. Boyong Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta

SEKRETARIAT ULLEN SENTALU
Jl. Plemburan 10, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta 55581
T. 0274 880158, 880157
E. [email protected], [email protected]
Ikuti Ullen Sentalu di:
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak