ULLEN SENTALU
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak

KAJIAN

Artikel Riset Museum Ullen Sentalu tentang Jawa dan Nusantara

Kisah Empat Aksara dan Empat Bahasa pada Lembaran Uang Era Kolonial Belanda

30/9/2022

0 Comments

 
Ada tahun-tahun sangat panjang tatkala wilayah yang kini kita sebut Indonesia menjadi tempat beredarnya mata uang Gulden. Tentu itu terjadi sepanjang zaman kolonial Belanda ketika Indonesia masih menyandang nama resmi Hindia Belanda. Terbilang jauh pula dari Indonesia di zaman merdeka resmi menyatakan Rupiah sebagai nama mata uangnya.

Picture
Bicara tentang mata uang Gulden pihak Kolonial Belanda, pada uang-uang kertasnya yang terutama diedarkan di teritori Hindia Belanda sejak medio abad XIX atau tahun 1800-an, ada bagian yang tampak dihiasi beberapa larik tulisan dalam empat aksara sekaligus empat bahasa.  Itu tepatnya berupa aksara Latin untuk menuliskan keterangan berbahasa Belanda, aksara Jawa untuk menuliskan keterangan berbahasa Jawa, aksara Pegon untuk menuliskan keterangan berbahasa Melayu, juga aksara China untuk menuliskan keterangan dalam salah satu bahasa dialek China. Keterangannya sendiri secara umum bicara soal larangan berikut ancaman pidana terhadap praktik pemalsuan uang, pengedaran, maupun penyimpanannya. Hal demikian ini contohnya dapat ditemukan di lembaran-lembang uang kertas Gulden keluaran De Javasche Bank pada akhir abad XIX hingga pertengahan abad XX. 
Setidaknya dari 1895
Dalam hal ini, Lintasan Masa Numismatika Nusantara Koleksi Museum Bank Indonesia,
yakni katalog yang diterbitkan Museum Bank Indonesia pada 2015 sebagai hasil kurasi dari fotografer senior Oscar Motuloh, sangat membantu mengenali tengara penting dari uang-uang kertas Gulden Hindia Belanda tersebut. Dalam katalog 516 halaman itu, keberadaan cetakan empat aksara dan empat bahasa pertama-tama ditunjukkan dari isi halaman 61-68. Itu meliputi pecahan 5 Gulden keluaran 1895, 10 Gulden keluaran 1900, 25 Gulden keluaran 1895, dan 50 Gulden keluaran 1911. Empat pecahan uang kertas Gulden ini digolongkan dalam kelompok sebagai kelompok uang kertas Gulden seri bingkai yang dicatat beredar pada kurun 1870-1922. 

Masih dari kurun tadi, ada pula seri uang kertas Coen – Mercurius menampilkan larangan dan ancaman pidana terhadap pemalsuan dalam empat aksara serta empat bahasa. Disebut seri Coen dan Mercurius karena memang menampilkan potret Gubernur Jenderal JP Coen dan gambar sosok Dewa Mercurius. Keterangan empat aksara dan empat bahasa dalam uang kertas seri Coen – Mercurius diwakili oleh pecahan 100 Gulden keluaran 1913 dan pecahan 5 Gulden keluaran 1920. Katalog Lintasan Masa Numismatika Nusantara Koleksi Museum Bank Indonesia menampilkan uang-uang kertas seri Coen – Mercurius tadi pada halaman 83 – 86.
Praktik mencetak dan mengedarkan uang kertas berisikan keterangan dalam beberapa aksara serta beberapa bahasa sekaligus dipertahankan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda hingga pecahnya Perang Dunia II, yang berakibat jatuhnya Hindia Belanda kepada Jepang. Itu juga masih diteruskan lagi pada sepanjang Perang Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1949. 
Berikut ini adalah contoh selanjutnya dari pecahan-pecahan uang kertas Gulden berikut serinya yang dimuat dalam katalog Lintasan Masa Numismatika Nusantara Koleksi Museum Bank Indonesia, dengan menampilkan pencantuman larangan dan ancaman pidana terhadap pemalsuan dalam empat aksara serta empat bahasa. Ada pecahan 40 Gulden seri Gedung De Javasche Bank keluaran 1921. Lalu, ada pecahan 5 Gulden keluaran 1930, 10 Gulden keluaran 1926, 25 Gulden keluaran 1930, 50 Gulden keluaran 1926, 100 Gulden keluaran 1939, juga 200 Gulden keluaran 1925 dari seri JP Coen II. Kemudian, ada pecahan 5 Gulden, 10 Gulden, 25 Gulden, 50 Gulden, 100 Gulden, 200 Gulden, 500 Gulden, juga 1000 Gulden dari seri Wayang Wong keluaran 1938. Masih ada pula pecahan 5 Gulden, 10 Gulden, 25 Gulden, 100 Gulden, serta 1000 Gulden dari seri Federal I keluaran 1946.
Bilingualitas pada 1940-an
Namun, tidak semua uang keluaran otoritas Kolonial Belanda menampilkan larangan dan ancaman pidana terhadap pemalsuan dalam empat aksara serta empat bahasa. Menurut katalog Lintasan Masa Numismatika Nusantara Koleksi Museum Bank Indonesia,
pecahan 1 Gulden dan 2½ Gulden seri Muntbiljet Ratu Wilhelmina keluaran 1919 tidak mencantumkan larangan maupun ancaman pidana soal pemalsuan uang. Lalu, pecahan 1 Gulden dan 250 Gulden seri Muntbiljet II keluaran 1920 hanya mencantumkan larangan maupun ancaman pidana soal pemalsuan uang dalam aksara Latin dan bahasa Belanda. Sama dengan ini, pecahan 1 Gulden keluaran 1937 dan 1940, juga 2½ Gulden keluaran 1940 dari seri Muntbiljet III, sekadar mencantumkan larangan maupun ancaman pidana soal pemalsuan uang dalam aksara Latin dan bahasa Belanda.

Selain uang-uang kertas keluaran pihak Kolonial yang sudah dicuplikkan tadi, ada lagi beberapa seri yang menampilkan bilingualitas. Itu berupa larangan dan ancaman pidana terhadap pemalsuan dalam satu aksara saja, yakni aksara Latin, tetapi terdapat dua versi bahasa, yakni bahasa Belanda serta bahasa Indonesia. Pada seri-seri uang kertas semacam ini, penyebutan Gulden dalam bahasa Belanda berikut pecahannya pada dasarnys diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia memakai penamaan mata uang Rupiah. Seri-seri uang kertas terbitan otoritas Kolonial Belanda yang menampilkan ciri bilingualias dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia adalah yang dicetak dan diedarkan pihak Belanda pada dekade 1940-an. Tepatnya pada kurun Perang Dunia II serta Perang Revolusi Kemerdekaan. Itu tentunya menunjukkan bentuk respon menguatnya sentimen nasionalisme Indonesia serta menguatnya popularitas penggunaan bahasa Indonesia.
Seri-seri uang keluaran pihak Kolonial Belanda dengan ciri bilingulitas bahasa Belanda dan bahasa Indonesia tadi adalah seri NICA yang bergambar potret Ratu Wilhelmina, seri Federal II, serta seri Federal III. Seri NICA dicetak 1943 dan diedarkan mulai 1945, dengan terdiri dari pecahan-pecahan 1 Gulden, 2½ Gulden, 5 Gulden, 10 Gulden, 50 Gulden, 100 Gulden, serta 500 Gulden. Seri Federal II diterbitkan pada 1946 dengan terdiri dari pecahan-pecahan 10 Sen dan 25 Sen. Seri Federal III diterbitkan pada 1948 dengan terdiri dari pecahan-pecahan 50 Sen alias ½ Roepiah, 1 Gulden alias 1 Roepiah, dan 2½ Gulden alias 2½ Roepiah.
Bahasa Nasional di Rupiah
Keberadaan penggunaan aksara dan bahasa yang majemuk dan terekam pada lembaran-lembaran uang kertas Gulden terbitan otoritas keuangan Belanda itu sejatinya menunjukkan salah satu ciri praktik kolonialisme pihak Belanda. Mereka cenderung melestarikan kehidupan tersegregasi dari berbagai etnis yang hidup di Indonesia. Belanda tak pernah benar-benar menginginkan para etnis yang majemuk di Indonesia untuk saling membaur menjadi suatu bangsa bersatu. Ini terasa senafas dengan bagaimana Belanda dulu cenderung menentukan secara tegas kavling-kavling permukiman etnis di Batavia dan kota-kota lainnya, lalu membatasi interaksi di antara mereka. Itu terasa senafas juga dengan pilihan kebijakan otoritas Kolonial Belanda yang cenderung mendirikan sekolah-sekolah menurut pemilahan latar belakang etnisitas.  

Dalam hal keterangan-keterangan yang ditampilkan pada lembaran uang kertas, Indonesia sangat bertolak belakang dengan apa yang dijalan otoritas Hindia Belanda di sebagian besar eksistensinya. Sejak resmi menjadi negara merdeka berdaulat, di lembaran-lembaran uang kertas Rupiahnya, Indonesia sejauh ini tampak konsisten menampilkan bahasa Indonesia saja dengan memakai aksara Latin. Itu rupanya impementasi politik bahasa nasional yang diterapkan Indonesia. Tentu merupakan juga terjemahan dari poin ketiga Putusan Kongres Pemuda II 1928 alias Sumpah Pemuda, yakni “Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” (Yosef Kelik, Divisi Riset Museum Ullen Sentalu)

0 Comments



Leave a Reply.

    Archives

    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    September 2021
    May 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021

    Categories

    All
    Budaya
    Kesehatan
    Pendidikan
    Sastra
    Sejarah
    Yogyakarta

MUSEUM ULLEN SENTALU
Jl. Boyong Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta

SEKRETARIAT ULLEN SENTALU
Jl. Plemburan 10, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta 55581
T. 0274 880158, 880157
E. [email protected], [email protected]
Ikuti Ullen Sentalu di:
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak