Kitab yang Menyebut Para Raja Mataram Sebagai Keturunan Nabi Sekaligus Keturunan Para Dewa31/1/2025
Bila sebatas memilih pasrah percaya kepada narasi di atas, maka catatan silsilah para raja bersangkut-paut dengan kurun ribuan tahun, setidaknya sekitar 4.000 tahun. Namun, Babad Tanah Jawi secara fakta baru ditulis tiga abad lalu. Ada dua versi penulisan Kitab ini, yakni oleh Carik Braja pada periode pemerintahan Sunan Pakubuwono II (1726-1749) serta Pangeran Adilangu II pada tahun 1722. Kedua versi Kitab memiliki perbedaan dalam gaya penceritaan pada bagian sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya bakal Kerajaan Mataram, tetapi secara garis besar substansi cerita mereka tetap sama. Bahkan judul lengkap pada awal keduanya adalah “Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647”. Sementara judul baru yang lebih ringkas, “Babad Tanah Jawi”, baru muncul pada karya terjemahan oleh W.L. Olthof tahun 1941.
Melihat penjabaran di atas, bisa dikatakan bahwa Babad Tanah Jawi termasuk karya baru, tetapi sempat mendapat status sebagai babon sejarah Jawa dengan cerita cenderung hiperbola. Klaim para raja Mataram Islam sebagai keturunan nabi sekaligus keturunan dewa terkait dengan dua hal. Pertama, pujangga Mataram tidak punya rujukan ilmiah. Hal ini ditunjukkan dari penceritaan terkesan cocokologi karena sejarah tentang nabi dan mitologi tidak sinkron. Kedua, mereka cenderung menjelaskan beberapa peristiwa maupun para tokoh secara oversimplifikasi mulai dari eufemisme bahasa hingga sisipan nuansa adikodrati predestinasi, baik itu ketika menyamarkan maupun melebih-lebihkan detail cerita. Contoh adalah cara Panembahan Senopati dan Mataram mengambil alih penguasaan atas Jawa dari Raja Hadiwijaya, raja Pajang. Babad Tanah Jawi terkesan menceritakan hal tersebut sebagai bagian takdir ilahiah. Hadiwijaya pun dinarasikan merelakan kekuasaan atas Jawa jatuh kepada Senopati pada akhirnya. Sebaliknya, Amangkurat I diceritakan sebagai sosok yang kurang cakap dalam memerintah, paranoid, pun kejam dalam mengambil kebijakan. Penggambaran demikian terkesan mengaburkan fakta raja yang mampu mempertahankan kekuasan tiga dasawarsa. Durasi dan besar kekuasaannya hampir sama dengan bertakhta sang ayah, Sultan Agung Hanyakrakusuma, yang secara luas diakui sebagai raja terbesar Mataram Islam. Dengan pertimbangan beberapa hal tersebut, Babad Tanah Jawi sering dianggap sebagai alat legitimasi bagi raja yang berkuasa. Meski anggapan seperti di atas diamini oleh banyak tokoh, sejarawan asal Belanda bernama H.J de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud memberikan sudut pandang lain. Dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa (1989), de Graaf mengatakan bahwa Babad Tanah Jawi unggul dalam umur dan luasnya. Terdapat beberapa candra sengkala yang relevan setelah diteliti lebih detail dan diduga penulisnya telah menggunakan sumber berupa Babad Sengkala. Lebih lagi, de Graaf (1989) menegaskan bahwa nama tempat, tahun kejadian, dan cerita dari masa Pajang tahun 1600 sampai masa Mataram Kartasura pada tahun 1900 Masehi, terutama masa Sultan Agung (1613-1645) dapat dipercaya. Dengan demikian, sebagian isi Babad Tanah Jawi tetap dapat menjadi sumber historis tentang Kerajaan Mataram Islam. [RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu)]
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |