ULLEN SENTALU
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak

KAJIAN

Artikel Riset Museum Ullen Sentalu tentang Jawa dan Nusantara

Manakala Mayoritas Orang Jawa Memeroleh Ilmu via Belajar di Rumah

20/4/2021

0 Comments

 
Picture
PADA saat Indonesia dan negara-negara lain sedunia sedang dihajar Pageblug Corona alias Pandemi Covid-19, istilah Belajar di Rumah menjadi salah satu istilah yang menjadi populer. Istilah tersebut bisa disebut “saudara kembar” dari Bekerja di Rumah alias Work from Home. Bekerja di Rumah dan Belajar di Rumah adalah pula bagian tindakan Pembatasan Jarak Fisik (Physical Distancing) yang dimaksudkan untuk membendung laju penularan Covid-19. Pembatasan Jarak Fisik sendiri diterapkan secara nasional di Indonesia sejak  Minggu, 15 Maret 2020, yakni terhitung sejak Presiden Joko Widodo membuat seruan untuk itu via konferensi pers di Istana Bogor.
Namun, jika menengok ke dalam catatan sejarah Jawa, apa yang kini populer disebut sebagai Belajar di Rumah sebenarnya bukan kali ini saja diterapkan, pun bukan sesuatu  benar-benar baru . Itu sejatinya pernah menjadi sesuatu yang sangat diakrabi masyarakat Jawa untuk masa yang begitu panjang. Pasalnya, memang pernah ada abad-abad manakala mayoritas orang Jawa justru memeroleh ilmu keterampilan via Belajar di Rumah. Tepatnya belajar langsung aneka jenis ilmu dan keterampilan dari orangtua, kerabat dekat, serta tetangga. Praktik Belajar di Rumah ala Jawa di masa lalu ini yang pernah berlangsung berabad-abad. Dahulu itu, mereka yang menjalani Belajar di Rumah secara tradisional jauh lebih banyak ketimbang mereka yang menuntut ilmu di padepokan atau pesantren. Belajar di Rumah ala Jawa terbilang meredup dan tersisihkan barulah sekitar seabad terakhir, yakni sejak sistem sekolah moderen ala Barat menyebar dan menjadi arustama pendidikan anak, remaja, dan pemuda.

TOPONIM
Bukti bahwa Belajar di Rumah pernah menjadi tulang punggung pewarisan aneka ilmu dan keterampilan di Jawa pada masa silam, sekian rentang tahun dan bahkan abad sebelum abad XX, disediakan oleh barisan toponim kampung dan ruas jalan di berbagai kota maupun kabupaten di Jawa Bagian Tengah maupun Timur. Penelisikan  terutama dapat difokuskan kepada daerah-daerah yang masih atau setidaknya pernah ketempatan sebagai ibukota kerajaan maupun kemaharajaan Jawa berikut istana-istananya.

Dalam daftar yang disusun tentulah termuat Surakarta alias Solo yang telah menjadi kota sejak 1745, kemudian Yogyakarta alias Jogja yang telah menjadi kota sejak 1756. Dua kota yang satu sama lain cuma berjarak sekitar 70 kilometer ini  masih menjadi tapak bagi empat istana Jawa yang eksis sampai sekarang. Secara kultural juga semacam menjadi sepasang pusat peradaban Jawa hingga sekarang.

Dapat juga turut dimasukkan daerah bekas ibukota Kemaharajaan di seputaran Solo maupun Jogja. Sebut saja dalam hal ini adalah Kartasura yang terletak sekitar 10 kilometer di barat Solo, lalu Kotagede yang terletak sekitar 5 kilometer sebelah tenggara dari pusat kota Jogja. Kartasura sendiri menjadi sebuah kota sejak 1680, sedangkan Kotagede menjadi sebuah kota sejak 1577. Dengan demikian 4 kota yang disebutkan tadi terbilang telah terurbanisasi sejak sekitar 250-450 tahun silam.

Pada daerah-daerah yang tersebutkan tadi, sampai sekarang dapat ditemukan kampung maupun ruas jalan dengan penamaan merujuk ke bidang pekerjaan tertentu, baik yang pernah ataupun masih ditekuni warga setempat. Ambil contoh awal adalah Jagalan, nama kampung yang ada di Solo, Jogja, Kartasura serta Kotagede. Jagalan sendiri  nama permukiman sekaligus tempat bekerja para jagal, yakni penyembelih hewan ternak dan tukang daging.

Di Solo, Jogja, Kartasura, dan Kotagede masih ada beberapa contoh lain dari kampung yang bertalian dengan bidang pekerjaan tertentu. Mereka itu antara lain:

Penumping di Solo dan Panumping di Jogja
Nama dua kampung di atas sama-sama merujuk kepada permukiman para abdi dalem di bidang pertukangan yang memiliki keterampilan merancang dan mengerjakan bangunan-bangunan yang dibutuhkan raja maupun kesatuan prajurit kraton, mulai dari rumah, pesanggrahan, benteng, hinga aneka halangan bagi lawan dalam peperangan

Pandheyan di Kotagede, Pandeyan di Kartasura, dan Pandean di Jogja
​Nama tiga kampung di atas yang saling mirip adalah merujuk kepada permukiman para pengrajin pembuat peralatan berbahan besi

Gamblegan di Solo dan Gemblakan di Jogja
Nama dua kampung di atas yang saling mirip adalah merujuk kepada permukiman para pengrajin pembuat peralatan berbahan perak

Sayangan di Solo dan Sayangan di Kotagede
N
ama dua  kampung yang serupa di atas sama-sama merujuk kepada permukiman para pengrajin pembuat peralatan berbahan tembaga

Selain itu masih ada Laweyan di pinggiran selatan Solo yang terkenal sejak lama sebagai permukiman para pengrajin dan saudagar kain, termasuk batik. Di luar kota Jogja, di daerah yang sudah termasuk wilayah Kabupaten Bantul ada juga Desa Kasongan yang terkenal sejak lama sebagai permukiman para pengrajin gerabah.

Di kota Jogja , masih ada lagi beberapa contoh kampung dan jalan dengan penamaan merujuk profesi pertukangan, antara lain Tukangan, Dagen, Bludiran dan  Gerjen.  Beberapa kampung dan jalan lainnya memakai dengan penamaan menurut kesatuan bregada prajurit kuno maupun abdi dalem Kasultanan Yogyakarta, antara lain Wirobrajan, Bugisan, Prawirotaman, Mantrijeron, Nyutran, Patehan, dan Gamelan.

Kota-kota lain yang lebih kecil yang dulunya adalah kabupaten di bawah Surakarta maupun Yogyakarta memiliki kampung-kampung maupun jalan-jalan yang namanya merekam profesi penduduk daerah tersebut.

TURUN-TEMURUN
Pada zaman Jawa sebelum mengenal sistem sekolah modern, tulang punggung pewarisan aneka ilmu dan keterampilan sesungguhnya memang, tapi justru di komunitas, bukan terletak pada lembaga pendidikan tertentu seperti padepokan atau pesantren.  Pewarisan ilmu dan keterampilan tepatnya berjalan di dalam keluarga maupun kampung atau desa yang dimukimi melalui kehidupan sehari-hari.  Itu berlangsung turun temurun dari satu generasi ke generasi lain, juga membentuk siklus berulang. Generasi yang lebih tua seperti ayah-ibu, paman-bibi, kakek-nenek, atau kakak mengajari dan memberi contoh langsung mengenai  bidang yang mereka tekuni , juga mengawasi penerapan apa yang mereka ajarkan. Generasi yang lebih muda, entah itu anak, keponakan, cucu, atau adik mengamati, mempraktikkan , belajar dari kesalahan, memodifikasi hal-hal yang diajarkan dan dicontohkan kepada mereka.

Karena itu berlangsung di lingkungan tempat bermukim atau bahkan rumah sendiri, maka semuanya berlangsung secara sangat intensif jika hari dan jam yang dipergunakan coba dihitung. Pewarisan ilmu maupun keterampilan semacam ini berlaku dalam aneka bidang pekerjaan pertukangan, pertanian berikut pengolahan hasilnya, hingga ke pekerjaan di bidang keprajuritan. Keanekaragaman bidang pekerjaan berketerampilan tertentu dalam masyarakat Jawa setidaknya pada awal abad XIX terdokumentasikan beberapa di antaranya di dalam buku tulisan Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Volume One) halaman 163-165.

Memang merupakan kelaziman pada zaman Jawa Kuna, bahkan masih sangat lazim sampai dengan 100-150 tahun silam, bahwa suatu keluarga atau malah suatu kampung menekuni suatu bidang tertentu secara turun temurun.  Lebih lagi jika orang-orang itu melakukan pekerjaannya dengan memiliki hubungan dengan pihak pihak-pihak penguasa istana-istana Jawa, memenuhi aneka kebutuhan istana-istana tersebut.

Daftar Pustaka:
Haryono, Anton, Mewarisi Tradisi Menemukan Solusi: Industri Rakyat Daerah Yogyakarta Masa Kolonial (1830-an- 1930-an). Yogyakarta: Penerbit Universita Sanata Dharma, 2015
Raffles, Thomas Stamford, The History of Java (Volume One). Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978
Sumintarsih dkk, Toponim Kota  Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kota Yogyakarta, 2007
Surjomihardjo, Abdurrachman, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930. Depok: Komunitas Bambu, 2008
Suwito, Yuwono Sri dkk., Prajurit Kraton Yogyakarta: Filosofi dan Nilai yang Terkandung di Dalamnya. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2009
0 Comments



Leave a Reply.

    Archives

    October 2025
    September 2025
    August 2025
    July 2025
    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    September 2021
    May 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021

    Categories

    All
    Budaya
    Kesehatan
    Pendidikan
    Sastra
    Sejarah
    Yogyakarta

MUSEUM ULLEN SENTALU
Jl. Boyong Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta

SEKRETARIAT ULLEN SENTALU
Jl. Plemburan 10, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta 55581
T. 0274 880158, 880157
E. [email protected], [email protected]
Ikuti Ullen Sentalu di:
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak