Muasal penamaan Mantrijeron adalah nama salah satu kampung permukiman para abdi dalem prajurit Kraton Kasultanan Yogyakarta. Tepatnya yang tergabung dalam kesatuan Bregada Mantrijero, atau disebut juga Mantrilebet jika mengikuti penamaanya menurut bahasa Jawa Krama. Mantrijero sebagai suatu nama mengandung arti harafiah “menteri di dalam lingkungan istana”.
Kampung Mantrijeron saat ini bertapak lokasi di sebelah timur Kampung Mangkuyudan, juga berada di sebelah utara Kampung Jagakaryan. Kampung tersebut mendapat nama Mantrijeron sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana IV (1814-1823). Sebelum periode tadi, para prajurit Mantrijero menempati bagian dalam kompleks perbentengan Kraton Kasultanan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana IV memang tercatat berlangsung pemindahan lokasi permukiman para prajurit keraton dari dalam benteng keraton (Njeron Beteng) ke luar benteng (Njaban Beteng). Para prajurit Mantrijero adalah termasuk ke dalam 10 bregada prajurit Kraton Kasultanan Yogyakarta yang direaktivasi Sultan Hamengkubuwana IX pada 1970. Delapan belas tahun sebelumnya, selusin bregada prajurit yang dimiliki Kraton Yogyakarta, tak terkecuali Bregada Mantrijero, harus merasakan pengalaman pahit, yakni dibubarkan karena tekanan politik pihak Jepang. Seragam para prajurit Bregada Mantrijero setelah reaktivasi 1970 sama seperti seragam sebelum pembubaran 1942. Wujudnya adalah paduan baju dan celana serba lurik yang dipadukan baju dalam putih. Itu dilengkapi topi songkok hitam yang memiliki brim horizontal di bagian depan serta memiliki brim vertikal pada separo bagian belakang. Dalam catatan sejarah pihak Kraton Kasultanan Yogyakarta, Mantrijero bisa digolongkan satuan elite. Pada saat momen penting seperti penobatan Sultan, dua prajurit Mantrijero bersenjata kelewang didapuk sebagai pengawal terdekat bagi Sultan dan Permasuri. Selama prosesi, dua prajurit itu menempatkan diri di kiri-kanan Sultan serta Permaisuri. Dengan demikian, dua prajurit Mantrijero itu bertugas bersama delapan prajurit Nyutra bersenjata tombak yang berbaris di beberapa langkah di depan. Formasi dua prajurit Mantrijero dan delapan prajurit Nyutra tersebut juga digunakan pada masa kolonial ketika Sultan juga masih tampil pada hari H upacara Grebeg. Dahulu, pejabat gubernur Belanda di Yogyakarta turut hadir dan berada di sebelah Sultan selama prosesi arak-arakannya. Ini antara lain dpat dilihat dari foto-foto karya Kassian Cephas yang mendokumentasikan prosesi upacara grebeg semasa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII. (Yosef Kelik, Periset di Museum Ullen Sentalu)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
July 2025
Categories |