ULLEN SENTALU
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak

KAJIAN

Artikel Riset Museum Ullen Sentalu tentang Jawa dan Nusantara

Menurut Ukuran Zaman Majapahit, Nagarakretagama Karya Prapanca Bukanlah Sastra yang Benar-benar Indah

3/12/2024

0 Comments

 
Sejak penemuan kembali salah satu keropak lontar salinannya pada 1894 di reruntuhan Puri Cakranegara, terlebih  sejak beredar berbagai terjemahannya dalam bahasa modern dari awal 1900-an, Desawarnana atau Nagarakretagama merupakan kakawin yang paling banyak dipelajari. Prapanca sang penulis pun menjadi pujangga Jawa Kuna yang paling dikenal. Penilaian demikian dikemukakan PJ Zoetmulder pada medio 1970-an, sekitar tujuh dasawarsa setelah JLA Brandes menerbitkan transliterasi aksara Bali ke Latin sekaligus edisi kajian sementara dari keropak Nagarakretagama hasil temuan dari Puri Cakranegara. 
Picture
Pernyataan Zoetmulder tersebut termuat mengisi Kalangwan, buku adikaryanya yang menelaah sastra sepanjang era Jawa Kuna. Dalam Kalangwan edisi terjemahan bahasa Indonesia cetakan II 1985 hasil penerjemahan Dick Hartoko, penilaian Zoetmulder  dapat ditemukan pada halaman 440. Ia mendeskripsikan  Nagarakretagama secara garis besar pada halaman 440 - 441 sebagai berikut:
“Dalam kakawin ini termaktub sebuah lukisan mengenai kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan raja Rajasanagara (Hayam Wuruk), keluarganya, kratonnya, dan banyak bagian wilayahnya, seperti dilukiskan oleh seorang yang hidup pada jaman tersebut dan yang merupakan warga kalangan kraton; ia tidak hanya menulis tentang hal yang dilihatnya, melainkan juga tentang dirinya sendiri yang melihat semua hal. Dengan demikian, kakawin ini memberikan keterangan langsung, seperti tidak terdapat  dalam banyak kakawin lainnya, mengenai masyarakat Jawa Kuno pada suatu waktu tertentu, dilihat dari suatu sudut tertentu, lagi pula mengenai seorang penyair  Jawa Kuno serta seluk beluk pribadinya.”

Dari uraian tentang Nagarakretagama tersebut, perlu kita garisbawahi bahwa Zoetmulder menggunakan kata-kata “tidak terdapat dalam banyak kakawin lainnya”. Hal ini tentunya menunjuk adanya ciri khas atau keunikan pada Nagarakretagama dalam kedudukannya di antara sekian banyak kakawin. Sisi unik Nagarakretagama tersebut sangat berfaedah bagi masa kini. Berkat berbagai hal yang dituliskan Prapanca, masyarakat yang hidup hampir seabad dari era Tumapel-Singhasari dan Majapahit dapat mengetahui cukup banyak nukilan tentang berbagai kejadian maupun kehidupan keseharian era dua kemaharajaan kuno tersebut. Hal inilah menjadikan Nagarakretagama menjadi sumber sejarah penting tentang kurun 1280-an hingga 1360-an Masehi.

Namun, Zoetmulder dalam tulisannya di Kalangwan mengajak pula masyarakat modern kini untuk melihat Nagarakretagama dari sudut pandang orang-orang pada zaman Majapahit, terlebih mereka dari zaman yang cukup mengakrabi sastra, baik selaku penikmat-penyimak, atau bahkan para pujangga pemilik kemampuan menulis. Di halaman 444 Kalangwan, Zoetmulder mengutip salah satu bagian dari tulisan A Teeuw dan EM Uhlenbeck dari 1958, “Over de interpretatie van de Nāgarakŗtāgama” yang termuat dalam Bijdragen toot de Taal-, Land-, en Volkenkunde 114 terbitan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde:
“Bila dipandang dari sudut bentuk dan ungkapan puitis, maka teks ini sama sekali tidak agung maupun ulung.”

Masih dalam Kalangwan, Zoetmulder menuliskan pula komentar lebih lanjutnya mengenai Nagarakretagama serta Prapanca pada halaman 444 hingga 445. Komentar Zoetmulder seolah setuju dan menegaskan hal yang telah disampaikan oleh Teeuw dan Uhlenbeck bahwa tulisan Prapanca dalam Nagarakretagama bukanlah suatu karya yang dipandang ideal menurut kaidah keindahan sastra pada zaman Majapahit:
“Saya pribadi harus mengakui bahwa setelah membaca syair ini sampai berulang kali, namun kesan saya sama dengan pendapat kedua sarjana di atas. Bila saya membandingkan karya ini dengan kakawin-kakawin yang telah dibicarakan di atas dan bila menerapkan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan bagi sang kawi serta karyanya di dalam kesusasteraan itu sendiri, maka timbul pertanyaan: adakah orang-orang sejaman menilai karya ini sebagai contoh cemerlang  mengenai kalangon. Saya tak pernah dapat mengesampingkan rasa ragu-ragu. Mungkin pengarang sendiri sadar mengenai kekurangan-kekurangannya. Mungkin juga dengan menulis karyanya, ia tidakmenjadikan kalangon cita-citanya. Ketika ia siap untuk berangkat sebagai seorang peserta dalam iringan sang raja, ia (Prapanca) berkata ‘hatinya penuh keinginan untuk menyertai sang raja ke mana saja dalam perjalanannya dan dengan demikian memperoleh perkenannya. Namun, ia tidak tahu bagaimana ia harus menangkap cita-rasa keindahan (apet lango), apalagi menyelaminya (tětěs) sehingga ia dapat menggubah sebuah kidung di atas papan tulis. Maka dari itu, ia melukiskan segala macam tempat yang mereka lewati dan mencatat nama tempat-tempat itu satu per satu menurut rute yang diikuti."

Herald van der Linde dalam bukunya rilis pada 2024 ini, Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire, yang akan pula segera memiliki edisi berbahasa Indonesianya, memberikan penilaian yang relatif senada dengan ulasan Zoetmulder dalam Kalangwan perihal taksiran apresiasi orang zaman Majapahit terhadap Nagarakretagama karya Prapanca:
“Tatkala berkaitan dengan penulisan syair/sastra, masalah yang menghinggapi Prapanca adalah ia tidak mengikuti aturan/kaidah. Gurunya mengajarinya bahwa, sebagaimana doa-doa serta ritus keagamaan, syair/sastra harus diatur oleh peraturan ketat.  Kisah kepahlawanan sejati membutuhkan setan-setan, dewa-dewi, peperangan, putri-putri anggun, dan para pangeran tampan. Harus ada berbagai laga pertumpahan darah, adegan-adegan menegangkan yang merangsang indera-indera serta menaburkan tindakan perenungan diri maupun berpikir mendalam. Ketimbang mematuhi semua itu, Prapanca justru lebih menyukai keseharian hidup.”
​   
Membaca dan merenungkan sekian macam ulasan di atas, baik oleh Teeuw dan Uhlenbeck, Zoetmulder, dan Van der Linde, dapat menyimpulkan bahwa Prapanca sebagai seorang penulis memang sungguh memiliki selera dan gaya menulisnya yang berbeda dengan para penulis lain sezamannya. Boleh lah kita bilang Prapanca adalah seorang dengan ide dan visi mendahului zamannya. Namun, tetaplah kita perlu berterima kasih kepada Prapanca. Berkat keberaniannya untuk berbeda dengan para penulis dari generasinya, tulisan Prapanca yang minim tuturan saga serta romansa dapat menjadi sumber sejarah sangat bermanfaat tentang zaman Tumapel-Singhasari dan Majapahit. [Yosef Kelik (Periset di Museum Ullen Sentalu)]
0 Comments



Leave a Reply.

    Archives

    October 2025
    September 2025
    August 2025
    July 2025
    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    September 2021
    May 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021

    Categories

    All
    Budaya
    Kesehatan
    Pendidikan
    Sastra
    Sejarah
    Yogyakarta

MUSEUM ULLEN SENTALU
Jl. Boyong Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta

SEKRETARIAT ULLEN SENTALU
Jl. Plemburan 10, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta 55581
T. 0274 880158, 880157
E. [email protected], [email protected]
Ikuti Ullen Sentalu di:
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak