Pernyataan Zoetmulder tersebut termuat mengisi Kalangwan, buku adikaryanya yang menelaah sastra sepanjang era Jawa Kuna. Dalam Kalangwan edisi terjemahan bahasa Indonesia cetakan II 1985 hasil penerjemahan Dick Hartoko, penilaian Zoetmulder dapat ditemukan pada halaman 440. Ia mendeskripsikan Nagarakretagama secara garis besar pada halaman 440 - 441 sebagai berikut:
“Dalam kakawin ini termaktub sebuah lukisan mengenai kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan raja Rajasanagara (Hayam Wuruk), keluarganya, kratonnya, dan banyak bagian wilayahnya, seperti dilukiskan oleh seorang yang hidup pada jaman tersebut dan yang merupakan warga kalangan kraton; ia tidak hanya menulis tentang hal yang dilihatnya, melainkan juga tentang dirinya sendiri yang melihat semua hal. Dengan demikian, kakawin ini memberikan keterangan langsung, seperti tidak terdapat dalam banyak kakawin lainnya, mengenai masyarakat Jawa Kuno pada suatu waktu tertentu, dilihat dari suatu sudut tertentu, lagi pula mengenai seorang penyair Jawa Kuno serta seluk beluk pribadinya.” Dari uraian tentang Nagarakretagama tersebut, perlu kita garisbawahi bahwa Zoetmulder menggunakan kata-kata “tidak terdapat dalam banyak kakawin lainnya”. Hal ini tentunya menunjuk adanya ciri khas atau keunikan pada Nagarakretagama dalam kedudukannya di antara sekian banyak kakawin. Sisi unik Nagarakretagama tersebut sangat berfaedah bagi masa kini. Berkat berbagai hal yang dituliskan Prapanca, masyarakat yang hidup hampir seabad dari era Tumapel-Singhasari dan Majapahit dapat mengetahui cukup banyak nukilan tentang berbagai kejadian maupun kehidupan keseharian era dua kemaharajaan kuno tersebut. Hal inilah menjadikan Nagarakretagama menjadi sumber sejarah penting tentang kurun 1280-an hingga 1360-an Masehi. Namun, Zoetmulder dalam tulisannya di Kalangwan mengajak pula masyarakat modern kini untuk melihat Nagarakretagama dari sudut pandang orang-orang pada zaman Majapahit, terlebih mereka dari zaman yang cukup mengakrabi sastra, baik selaku penikmat-penyimak, atau bahkan para pujangga pemilik kemampuan menulis. Di halaman 444 Kalangwan, Zoetmulder mengutip salah satu bagian dari tulisan A Teeuw dan EM Uhlenbeck dari 1958, “Over de interpretatie van de Nāgarakŗtāgama” yang termuat dalam Bijdragen toot de Taal-, Land-, en Volkenkunde 114 terbitan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde: “Bila dipandang dari sudut bentuk dan ungkapan puitis, maka teks ini sama sekali tidak agung maupun ulung.” Masih dalam Kalangwan, Zoetmulder menuliskan pula komentar lebih lanjutnya mengenai Nagarakretagama serta Prapanca pada halaman 444 hingga 445. Komentar Zoetmulder seolah setuju dan menegaskan hal yang telah disampaikan oleh Teeuw dan Uhlenbeck bahwa tulisan Prapanca dalam Nagarakretagama bukanlah suatu karya yang dipandang ideal menurut kaidah keindahan sastra pada zaman Majapahit: “Saya pribadi harus mengakui bahwa setelah membaca syair ini sampai berulang kali, namun kesan saya sama dengan pendapat kedua sarjana di atas. Bila saya membandingkan karya ini dengan kakawin-kakawin yang telah dibicarakan di atas dan bila menerapkan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan bagi sang kawi serta karyanya di dalam kesusasteraan itu sendiri, maka timbul pertanyaan: adakah orang-orang sejaman menilai karya ini sebagai contoh cemerlang mengenai kalangon. Saya tak pernah dapat mengesampingkan rasa ragu-ragu. Mungkin pengarang sendiri sadar mengenai kekurangan-kekurangannya. Mungkin juga dengan menulis karyanya, ia tidakmenjadikan kalangon cita-citanya. Ketika ia siap untuk berangkat sebagai seorang peserta dalam iringan sang raja, ia (Prapanca) berkata ‘hatinya penuh keinginan untuk menyertai sang raja ke mana saja dalam perjalanannya dan dengan demikian memperoleh perkenannya. Namun, ia tidak tahu bagaimana ia harus menangkap cita-rasa keindahan (apet lango), apalagi menyelaminya (tětěs) sehingga ia dapat menggubah sebuah kidung di atas papan tulis. Maka dari itu, ia melukiskan segala macam tempat yang mereka lewati dan mencatat nama tempat-tempat itu satu per satu menurut rute yang diikuti." Herald van der Linde dalam bukunya rilis pada 2024 ini, Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire, yang akan pula segera memiliki edisi berbahasa Indonesianya, memberikan penilaian yang relatif senada dengan ulasan Zoetmulder dalam Kalangwan perihal taksiran apresiasi orang zaman Majapahit terhadap Nagarakretagama karya Prapanca: “Tatkala berkaitan dengan penulisan syair/sastra, masalah yang menghinggapi Prapanca adalah ia tidak mengikuti aturan/kaidah. Gurunya mengajarinya bahwa, sebagaimana doa-doa serta ritus keagamaan, syair/sastra harus diatur oleh peraturan ketat. Kisah kepahlawanan sejati membutuhkan setan-setan, dewa-dewi, peperangan, putri-putri anggun, dan para pangeran tampan. Harus ada berbagai laga pertumpahan darah, adegan-adegan menegangkan yang merangsang indera-indera serta menaburkan tindakan perenungan diri maupun berpikir mendalam. Ketimbang mematuhi semua itu, Prapanca justru lebih menyukai keseharian hidup.” Membaca dan merenungkan sekian macam ulasan di atas, baik oleh Teeuw dan Uhlenbeck, Zoetmulder, dan Van der Linde, dapat menyimpulkan bahwa Prapanca sebagai seorang penulis memang sungguh memiliki selera dan gaya menulisnya yang berbeda dengan para penulis lain sezamannya. Boleh lah kita bilang Prapanca adalah seorang dengan ide dan visi mendahului zamannya. Namun, tetaplah kita perlu berterima kasih kepada Prapanca. Berkat keberaniannya untuk berbeda dengan para penulis dari generasinya, tulisan Prapanca yang minim tuturan saga serta romansa dapat menjadi sumber sejarah sangat bermanfaat tentang zaman Tumapel-Singhasari dan Majapahit. [Yosef Kelik (Periset di Museum Ullen Sentalu)]
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |