Menurut Prasasti Gajah Mada
Penyebutan eksplisit paling awal istilah Bhatara Sapta Prabhu dalam sumber Majapahit adalah Prasasti Singosari VIII atau Prasasti Gajah Mada terbit 1351 Masehi. Prasasti tersebut memberitakan proyek pengerjaan bangunan suci untuk mengenang sekaligus menghormati mendiang Maharaja Kertanegara dari Singhasari. Mahapatih Gajah Mada adalah penanggung jawab utama pengerjaan proyek tersebut. Isi prasasti antara lain memuji keandalan Mpu Mada sebagai perantara atau diartikan sebagai sosok pelaksana kepercayaan dari Bhatȃra Sapta Prabhu yang beranggotakan Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwarddhani serta para cucu mendiang Maharaja Kertanegara. Prasasti Gajah Mada terbit pada tahun peralihan masa bertakhta Tribhuwanatunggadewi ke masa bertakhta Hayam Wuruk, raja dengan nama abhiseka Rajasanagara. Para sejarawan sudah menggolongkan 1351 Masehi sebagai awal masa pemerintahan Hayam Wuruk, tetapi bahwa dalam Prasasti Gajah Mada justru menyebut abhiseka ibunya. Hal ini memberi indikasi bahwa pengaruh Tribhuwanatunggadewi masih besar terhadap Hayam Wuruk. Terlebih ketika sang suksesor masih berada di usia remaja belum genap 20 tahun. Khusus pada masa Maharaja Hayam Wuruk (1350-1389), Bhatȃra Sapta Prabhu beranggota tujuh orang yang terutama para keluarga raja berposisi sebagai bhre, yakni bhatara maupun bhatari penguasa berbagai kerajaan vassal atau bawahan dalam lingkup wilayah inti Majapahit. Mereka pada masa awal pemerintahan Maharaja Hayam Wuruk diyakini terdiri dari Bhre Kahuripan/Jiwana Sri Tribhuwanotungga Dewi, Bhre Singhasari/Tumapel Sri Kertawardhana, Bhre Daha Rajadewi Maharajasa, Bhre Wengker Sri Wijayarajasa, Bhre Lasem Rajasaduhitenduwi, Bhre Matahun Sri Rajasawardhana, juga Maharaja Hayam Wuruk selaku prabhu pemilik takhta Majapahit sekaligus secara resmi adalah ketua dewan permufakatan para raja ini. Ada penafsiran bahwa pembentukan Bhatȃra Sapta Prabhu sebagai lembaga tinggi kerajaan berhubungan dengan Raja Hayam Wuruk yang saat dinobatkan berusia 16 tahun. Raja perlu pendamping para kerabat dalam memutuskan perkara penting kerajaan. Menurut Kitab Nagarakretagama Kitab adisastra Nagarakretagama (1365) mengkonfirmasi keberadaan lembaga Bhatȃra Sapta Prabhu menurut isi Prasasti Gajah Mada. Boleh dikata pula bahwa Nagarakretagama berisikan istilah lain yang dapat menjadi padanan bagi Bhatȃra Sapta Prabhu. Terutama menyangkut fakta bahwa keanggotan dewan permufakatan para bangsawan tinggi era Rajasawangsa Majapahit tidak hanya tujuh anggota. Merujuk isi pupuh 71 baris 2 serta pupuh 72 baris 1-2 dalam Nagarakretagama, maka Bhatȃra Sapta Prabhu dapat pula disebut Pahöm Narēndra. Pahöm bisa berarti “pertemuan; perundingan; permufakatan”, sedangkan Narendra berarti raja maupun para raja. Istilah Pahöm Narēndra bisa mengacu pada penyebutan bagi orang-orang berkedudukan sangat tinggi dalam hierarki Kerajaan Majapahit yang bertugas mendampingi raja dalam memutus perkara yang berhubungan dengan kelangsungan kerajaan secara menyeluruh. Agus Aris Munandar dalam Ibu Kota Majapahit, Masa Jaya, dan Pencapaian (2008), menyebutkan Pahöm Narēndra serupa dengan Dewan Pertimbangan Agung dalam sistem pemerintahan Indonesia hingga tahun 1998. Menurut I Ketut Riana dalam Kakawin Déśa Warṇnana uthawi Nāgara Kṛtāgama, Masa Keemasan Majapahit (2009:345), Pahöm Narēndra ialah permufakatan yang dihasilkan dari perundingan atau diskusi oleh Baginda Raja Hayam Wuruk bersama dengan ayah-ibu, paman-bibi, kedua adik, dan kedua iparnya. Satu contoh adalah perihal calon pengganti Sang Mahapatih Gajah Mada yang wafat tahun 1364. Setelah dipertimbangkan mendalam, ternyata tidak ada calon yang berkenan di hati para anggota Pahöm Narēndra, tertulis pada pupuh 71 dan 72 Nagarakretagama. Akhirnya, Maharaja Hayam Wuruk memutuskan tidak mengangkat seorang pengganti tunggal untuk mengemban tanggung jawab yang dulunya diemban mendiang Sang Adi Mantri Gajah Mada. Sang Maharaja memilih membagi semua tugas mendiang Gajah Mada untuk ditangani beberapa pejabat tinggi. Diisi Anggota Wangsa Rajasa Mencermati berbagai uraian Nagarakretagama perihal Pahöm Narēndra, para pejabatnya haruslah dari orang-orang terdekat raja. Bahkan berasal dari anggota Wangsa Rajasa. Para anggota Pahöm Narēndra selalu terkait kekerabatannya dengan Maharaja Hayam Wuruk. Para anggota dewan tersebut adalah ibu-ayah maharaja, bibi-pamannya, adik sepupu perempuan dan suaminya, para adik perempuan maharaja berikut suami mereka. Merujuk deskipsi pupuh 2-6 Nagarakretagama, masing-masing para anggota Pahöm Narēndra memiliki gelar nama pribadi juga gelar penanda jabatan raja. Wilayah kekuasaan para anggota Pahöm Narēndra adalah kerajaan-kerajaan bawahan/vazal yang tersebar di seantero wilayah inti Majapahit, kurang lebih meliputi sebagian besar Jawa Timur, Jawa Tengah, serta Yogyakarta kini. Penanda status penguasa kerajaan vazal di wilayah inti Majapahit yang dimiliki para anggota Pahöm Narēndra bergelar Bhre Kahuripan/Jiwana, Bhre Singhasari/Tumapel, Bhre Daha, Bhre Wengker, Bhre Lasem, Bhre Pajang, Bhre Matahun, Bhre Paguhan, Bhre Wirabhumi, Bhre Mataram, dan Bhre Pewanuhan. Kahuripan atau Jiwana diyakini sekitar Sidoarjo kini. Singhasari atau Tumapel adalah sekitar daerah Malang saat ini. Daha adalah sekitar Kediri. Wengker adalah sekitar Ponorogo. Lasem adalah sekitar Lasem dan Rembang. Pajang adalah daerah-daerah Surakarta. Matahun adalah sekitar Bojonegoro. Paguhan diperkirakan sebagai suatu tempat di Jawa Tengah. Wirabhumi diperkirakan sebagai suatu tempat di Jawa Timur. Pewanuhan dapat diperkirakan sebagai suatu tempat di Jawa Tengah. Penyebutan diatas adalah semua daerah di masa kini. Pada sekitar masa penulisan Nagarakretagama oleh Prapanca dari 1350-an akhir hingga pertengahn 1360-an, anggota Pahöm Narēndra dapat dipastikan telah melampaui jumlah tujuh seperti representasi penamaan Bhatȃra Sapta Prabhu. Mengutip pendapat Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama (2006), jumlah anggota Pahöm Narēndra menyesuaikan kepada jumlah kerabat yang ada. Involusi Kesimpulan tadi tampaknya relevan. Sepeninggal Raja Hayam Wuruk, jabatan Pahöm Narēndra diindikasi masih ada. Jumlah anggotanya berubah menyesuaikan kerabat Wangsa Rajasa yang berposisi sebagai bhre penguasa kerajaan bawahan. Prasasti Waringin Pitu terbit 1447 Masehi yaitu era pemerintahan Maharaja Wijaya Parakramawardhana yang bernama muda Kertawijaya—mencantumkan bhre penguasa kerajaan bawahan ada 14. Bukan hal aneh bahwa mereka semua diberi kedudukan sebagai anggota Pahöm Narēndra. Adanya jumlah kerajaan bawahan semasa Kertawijaya yang lebih banyak dibanding era Tribhuwanatunggadewi dan Hayam Wuruk tidak berarti ada ekspansi wilayah. Hal ini justru mengindikasi adanya involusi daerah-daerah kerajaan bawahan di lingkup wilayah inti Majapahit di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Keadaan ini sebagai konsekuensi dari bertambah besar anggota wangsa yang perlu diberi jatah daerah kekuasaan dan warisan. Alhasil, wilayah pun terpecah-pecah semakin kecil. [RESTU A RAHAYUNINGSIH & YOSEF KELIK (Peneliti Museum Ullen Sentalu)]
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |