Tentang wajah dan sosok penguasa Mataram Islam bertahta 1613-1646 ini, tidak ada dokumentasi faktual dalam wujud gambar. Berbeda dengan keturunannnya, Pangeran Diponegoro, yang wajah dan bagian atas badannya terekam melalui sketsa arang karya pelukis AJ Bik, kala Diponegoro menjalani penahanan di Batavia, di bangunan yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Di balik ketiadaan dokumentasi visual tentang Sultan Agung, figur cucu pendiri Mataram Islam yaitu Panembahan Senopati masih memiliki rekaman secara tekstual. Sultan Agung selama bertakhta beberapa kali menerima perutusan pihak VOC. Mereka membuat laporan sangat detail, yang didalamnya termasuk mencatat berbagai ciri fisik, tingkah laku, juga penampilan sang raja. Beberapa dari laporan ada dalam tulisan HJ de Graaaf, De Regering van Sultan Agung, Vorst van Mataran, 1613-1645m, 1613-1645, en Die van Zijn Voorganger Panembahan Seda-ing Krapjak, 1601-1613. Kemudian terbit edisi terjemahan bahasa Indonesia, Puncak Kekuasam Mataram : Politik Ekspansi Sultan Agung, Pustaka Grafitipers (Cetakan I, 1986). Nah, laporan para duta VOC tentang figur Sultan Agung ada pada halaman 102-106. Salah satu laporan utusan VOC paling awal berasal dari 1614, setahun setelah Sultan Agung naik takhta. Para duta adalah Caspar van Surck dan Balthasar van Eyndhoven. Mereka menyebut Sultan Agung adalah seorang kaisar yang memerintah negaranya yang luas secara keras. Ia dibantu suatu dewan penasehat. Van Surck dan Van Eyndhoven banyak menggunakan kata bernuansa hiperbolis dalam menggambarkan impresi sang raja berupa wajah kejam. Menurut taksiran mereka, usianya sekitar 23 tahun pada kunjungan mereka tahun 1614, yang artinya sang kaisar Jawa lahir sekitar 1591. Pada 1622, H de Haen menjadi utusan VOC ke istana Kota Gede. Ia menyebut maharaja Mataram bergelar Pangeran Ingalaga. Ia memakai gelar Susuhunan setelah berhasil menaklukan Surabaya pada 1625. Gelar sultan baru dipakainya sekitar 1641. Laporan De Haen diantaranya berisi deskripsi bahwa sang raja berusia 20-30 tahun. Ia merupakan seorang yang berada pada puncak kehidupannya. Sosok fisiknya bagus, kulitnya sedikit lebih gelap dibanding umumnya orang Jawa. De Haen menggambarkan wajah raja bulat, hidung berukuran kecil, tapi tidak pesek dan mulut berbentuk datar dan agak lebar. Bila berbicara cenderung lamban dengan bahasa kasar. Ekspresi muka tenang, tapi pandangan matanya ketika diedarkan ke sekeliling terasa seperti tatapan singa. De Haen menilai wajah raja memancarkan kesan cerdas. Menurut hasil pengamatannya, De Haen menyebut sang raja berpakaian hampir sama dengan umumnya orang Jawa. Badannya berbalut kain batik bercorak putih-biru, bersabuk pinggang emas untuk menyelipkan sebuah keris di badan depan. Ia memakai kopiah berbahan kain linen, disebut kuluk. Ia memakai cincin bermata intan berlian gemerlapan di jari-jarinya. De Haen tidak menyebut perihal baju atas ataupun alas kaki. Bahwa Sultan Agung dalam berbagai momen resmi, termasuk saat menerima para duta, lazim memakai kuluk, terutama berwarna putih, kembali dilaporkan oleh Jan Vos, utusan VOC yang menghadap pada 1624. Kata Vos, bersama kuluk putih di kepala, raja membalut badannya memakai serasse gobar atau serasah kebar, yaitu sehelai kain batik ataupun tenun panjang dengan ornament hias mosaik dari Koromandel, India. Merujuk riset GP Rouffaer yang pada awal 1900-an mendokumentasikan ribuan motif batik di Jawa, bahwa kain serasah asal Koromandel adalah kain berukuran panjang 5,10 meter dan memiliki lebar 64 cm. Pelengkap busana raja adalah keris sederhana disisipkan di bagian belakang badan. Jemari Sultan meriah dengan cincin bermata empat atau lima butir intan. Selembar baju beludru hitam berhias pola aneka daun dan bentuk bunga keemas an (mungkin bordir benang emas) membungkus badan atas raja. Ia berterompah kayu dari jenis yang digemari para Muslim saleh. Selama audiensi, raja merokok memakai pipa berlapis perak namun dilarang keras bagi para pembesarnya. [Yosef Kelik (Tim Riset Museum Ullen Sentalu)]
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2025
Categories |