Selain namanya yang indah, putri ke-5 Sunan Pakubuwono X ini juga dikenal sebagai putri yang cantik dan cerdas. Hal ini membuat sang ayah, Sunan Pakubuwono X teramat mencintainya. Darsiti Soeratman dalam Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 (1989) menyebutkan salah satu bukti kecintaan Sunan Pakubuwono X kepada putri Retno Puwoso, yakni dengan diizinkannya sang putri menggunakan bahasa bagongan sebagai bahasa komunikasi dengan dirinya. Padahal bahasa bagongan merupakan bahasa tidak formal karena komposisi tata bahasanya berada diantara bahasa krama inggil dan ngoko. Bahasa ini tidak lazim digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua, apalagi kepada raja.
Kecintaan Sunan Pakubuwono X kepada putri Retno Puwoso juga dibuktikan dengan perjodohan agung. Pada tahun 1909, putri Retno Puwoso dijodohkan dengan Adipati Pakualam VII dari Kadipaten Pakualaman Yogyakarta dengan harapan kelak sang putri dapat menurunkan pemimpin bagi rakyat. Alhasil, tepat pada tanggal 5 Januari 1909, sang putri menikah dengan Adipati Pakualam VII. Beliau menjadi istri pertama sang adipati dan berkedudukan sebagai permaisuri, bergelar Gusti Bendara Raden Ayu (GBRAy) Adipati Pakualam VII. Sebagai seorang permaisuri, Gusti Retno Puwoso dikenal sebagai pribadi yang elegan, cerdas, dan visioner. Di Pura Pakualaman, beliau menghasilkan banyak karya seni yang menunjukkan pengaruh budaya Kasunanan Surakarta. Tiga diantaranya adalah penggunaan blangkon gaya Surakarta yang tanpa mondolan, busana beskap yang menyerupai jas, dan batik gaya Surakarta yang khas dengan warna cokelat (soga) kekuningan. Ketiga elemen busana ini digunakan sampai periode Adipati Pakualam VIII (1937-1998). Gusti Retno Puwoso sendiri merupakan figur ningrat yang sangat memperhatikan gaya berbusananya. Salah satu kegemarannya adalah menggunakan kalung kipas bulu yang memiliki panjang selutut dengan kipas bulu di ujung bawahnya. Beliau juga senang menggunakan kain gaya seredan. Gaya ini diidentikan dengan model lilit kain dengan bagian ujung kain dibiarkan terjuntai di samping kanan. Lilitan kain gaya ini hanya dikenakan permaisuri dan putri-putrinya. Sudarisman Poerwoko dalam Kadipaten Pakualaman (1985) menyebutkan bahwa kemahiran Gusti Retno Puwoso tidak hanya dalam hal budaya, tetapi juga tata pemerintahan. Pada era kepemimpinan sang suami, Adipati Pakualam VII (1906-1937), beliau ikut berkontribusi memajukan pendidikan dan kesejahteraan kerabat dan rakyat Pura Pakualaman. Tatkala Adipati Pakualam VII lebih memusatkan perhatian pada masalah politik dan ekonomi, Gusti Retno Puwoso lebih memusatkan perhatian pada masalah pendidikan, budi pekerti, dan kesenian. Untuk mendukung misi tersebut, Gusti Retno Puwoso mendatangkan abdi dalem penari dari Surakarta untuk melatih tari putra-putri dan abdi dalem Puro Pakualaman. Beliau juga mengirimkan putri-putri Pakualam ke Keraton Surakarta untuk berlatih menari. Salah satunya Putri Purnamaningrum yang kelak menjadi istri Adipati Pakualam VIII. Latihan tari ini bertujuan untuk olah tubuh, olah gerak, dan melatih konsentrasi dan kesabaran dalam bertindak. Sang putra mahkota, BRM Soelarso (kelak Adipati Pakualam VIII) bahkan diwajibkan mendalami tari Serimpi di perkumpulan Krida Beksa Wirama di Keraton Yogyakarta tahun 1922. Berkat Gusti Retno Puwoso, seni budaya di Pura Pakualaman berkembang dengan perpaduan gaya Yogyakarta dan Surakarta. Aktivitas Gusti Retno Puwoso tidak pupus tatkala sang suami meninggal (1937). Saat takhta bergulir di tangan putranya, Adipati Pakualam VIII, beliau tetap menduduki posisi utama sebagai ibu suri di dalam Kadipaten Pakualaman. Saat itu, peran beliau saat itu tidak hanya sebagai ibu tetapi juga sebagai penasihat politik bagi Adipati Pakualam VIII. Berkat beliau, Adipati Pakualam VIII manunggal dengan Sultan Hamengkubuwono IX dari Kasultanan Yogyakarta. Duet ini membawa Yogyakarta bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada September 1945. Menariknya, keningratan Gusti Retno Puwoso tidak menghalangi panggilan hatinya untuk terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Di antara Perang Revolusi Kemerdekaan dan Yogyakarta sebagai Ibukota NKRI (1946-1949), beliau menginisiasi pendirian posko sukarelawan di Pura Pakualaman. Beliau mengerahkan semua kerabat Pura Pakualaman untuk membantu tugas Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai tenaga medis ataupun penyedia obat-obatan. Disamping itu, beliau juga menggerakkan kerabat Pura Pakualaman untuk mengumpulkan, memasak, dan membuatkan bekal logistik para prajurit yang ikut berperang. Bahkan saat kesulitan pangan terjadi, beliaulah tokoh yang memprakarsai pendayagunaan nasi aking. Bisa dikatakan, di bawah kendali beliau, dapur Pakualaman saat itu berubah menjadi dapur umum yang menyediakan logistik bagi para pejuang. Begitulah kisah Gusti Retno Puwoso yang lahir di bulan puasa. Dua lukisan yang mengabadikan sosok Gusti Retno Puwoso, putri raja Kasunanan Surakarta yang menjadi permaisuri dan kemudian ibu suri di Pakualaman Yogyakarta, terpajang di Museum Ullen Sentalu. Tepatnya di Guwa Selagiri, yakni zona pamer yang berupa suatu terowongan bawah tanah. Anda dapat menyaksikannya ketika mengikuti di tur Adiluhung Mataram. RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |