Dhaup Ageng di Karaton Yogyakarta era Sultan Hamengkubuwana VIII dan IX tak hanya untuk satu pasangan pengantin anak raja. Kusniati Mochtar dalam Upacara Adat Perkawinan Agung Karaton Yogyakarta (1988), menyebutkan bahwa Sultan Hamengkubuwana VIII menikahkan 7 pasang pengantin dalam satu upacara pada tahun 1939. Pun di era Sultan Hamengkubuwana IX. Salah satunya pada tahun 1980-an, saat Sultan Hamengkubuwana IX menikahkan 3 pasang pengantin.
Bahkan pada 7 Oktober 1988, tatkala jenazah Sultan Hamengkubuwana IX disemayamkan di Karaton Yogyakarta, empat putranya melangsungkan ijab qobul di hadapan peti jenasah. Mereka adalah BRM Anindito (kemudian bergelar GBPH Pakuningrat), BRM Sulaksmono (kemudian bergelar GBPH Yudhaningrat), BRM Abiromo (kemudian bergelar GBPH Condrodiningrat), dan BRM Prasasto (kemudian bergelar GBPH Cokroningrat). Mereka merupakan anak urutan 12, 13, 14, serta 15 dari Sultan Hamengkubuwana IX. Prosesi ijab secara darurat oleh empat bersaudara tersebut digelar sebagai upaya kerabat Karaton Yogyakarta untuk membantu menggenapkan niatan Sultan Hamengkubuwana IX sebelum wafatnya pada 2 Oktober 1988 di Washington DC. Pernikahan beberapa anak dari para raja Yogyakarta dilangsungkan secara massal karena selisih usia mereka tidak terpaut jauh. Kebetulan pula, mereka pun masing masing bertemu jodoh pada waktu yang hampir sama. Beberapa anak sultan bisa berada pada kisaran usia sama karena para raja Jawa tersebut memiliki banyak istri. Bahkan pada era Sultan HB II (awal abad XIX), garwa padmi (permaisuri) mencapai empat dan garwa ampil (selir) hingga puluhan. Sehingga wajar bila para raja Jawa (Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) memiliki puluhan anak hingga tahun 1950 an. Namun jumlah istri para raja menyusut (di bawah sepuluh orang) pada era Sultan HB VIII dan HB IX di Yogyakarta dan Sunan PB XI dan PB XII di Surakarta. Menikahkan beberapa anak raja dalam satu upacara dan perayaan dipandang dari sisi ekonomi sangat meringankan istana. Dhaup Ageng (upacara pernikahan) tunggal hanya dilakukan bila raja menyunting permaisuri misal pada Pernikahan PB X dengan permaisuri GKR Emas, 1915. Dhaup Ageng sesuai pemaknaan adalah pernikahan agung, mewah, sangat detail aneka prosesinya karena diselenggarakan kerajaan atau negara dalam pengertian masa kini. Namun, bertalian dengan varian penyelenggaraannya, bisa juga Dhaup Ageng ditafsirkan sebagai hajatan pernikahan besar kerajaan karena berisi beberapa pasang pengantin. [RESTU AMBAR RAHAYUNINGSIH, Peneliti Museum Ullen Sentalu]
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
July 2025
Categories |