ULLEN SENTALU
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak

KAJIAN

Artikel Riset Museum Ullen Sentalu tentang Jawa dan Nusantara

Tentang Gula, Rasa Manis dan Percampuran Budaya Jawa-Eropa

6/10/2022

0 Comments

 
Picture
Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan adanya tokoh bernama Ki Ageng Giring. Selain seorang yang rajin bertapa atau bersemedi di tempat sepi, ia bekerja sebagai pembuat gula jawa yang bahannya berupa nira hasil sadapan pohon kelapa.
Suatu hari saat tengah menyadap di suatu pohon kelapa, Ki Ageng Giring mendengar suara gaib dari arah suatu buah kelapa. “Ketahuilah barang siapa yang dapat menghabiskan air kelapa muda (dawegan) ini sekaligus dalam sekali minum, seluruh keturunannya akan menjadi raja besar penguasa seluruh tanah Jawa”. Maka, buah itu pun dipetik oleh Ki Ageng Giring.

Sayangnya kelapa bertuah tadi ketika dibawa pulang ke rumah oleh Ki Ageng Giring justru diminum sampai tandas oleh saudaranya, yakni yaitu Ki Ageng Pamanahan. Ini terjadi karena Ki Ageng meninggalkannya beberapa saat, sedangkan di saat bersamaan Ki Ageng Pamanahan mampir dan begitu kehausan setelah menempuh perjalanan jauh.

Namun, tulisan ini sebenarnya tidak akan akan mengulas lebih jauh tentang mitos tadi, tentang awal mula Ki Ageng Pamanahan menjadi leluhur yang menurunkan para raja penguasa istana-istana Jawa hingga saat ini. Tulisan ini justru hendak mengulas tentang bagaimana gula dan hidangan manis telah sejak lama dikenal jadi bagian hidup sehari-sehari orang Jawa. Ingat bahwa Ki Ageng Giring dikisahkan sebagai penyadap nira kelapa dan pembuat gula.

Secara tradisional, gula lokal yang diproduksi orang Jawa berasal dari air kelapa dan aren atau siwalan. Keberadaan gula berbahan kelapa dan aren di Bumi Mataram terjaga eksistensinya hingga munculnya kekuasaan kolonial di Jawa. 

Sejak medio tahun-tahun 1800-an, Yogyakarta sebagai pecahan dari Kerajaan Mataram berkembang menjadi wilayah produsen gula modern yang dihasilkan dari tanaman tebu. Hermanu dalam Kereta Malam (2014) dan Suikerkultuur: Jogja yang Hilang (2019), menyebutkan bahwa Yogyakarta pada rentang 1860-an hingga 1930an memiliki 19 pabrik gula yang masif memproduksi gula sebagai komoditi ekspor.

Industri “si rasa manis” bukan hanya berdampak pada aspek ekonomi tetapi juga bersinggungan dengan aspek sosial seperti makanan. Ketika berkunjung ke rumah orang Jawa khususnya di Yogyakarta, pastilah seseorang akan disuguhi oleh tuan rumah dengan minuman dan camilan sebagai tanda sambutan hangat. Minuman bercita rasa manis menjadi tanda kedekatan orang Yogyakarta dengan gula. Keberadaan makanan yang bercita rasa manis di Keraton Yogyakarta dapat dilacak dari Babad Ngayogyakarta. Sri Sultan Hamengkubuwana I menjamu tamunya dengan tradisi bersulang yang ditemani oleh camilan biskuit, dan roti, pada era HB I akulturasi budaya barat dan jawa telah terlihat. Perkembangan dari suguhan makanan manis berlanjut hingga awal abad XX. Kemunculan percampuran budaya makan lokal-barat yang disebut rijsttafel menghadirkan cara baru menghidangkan makanan termasuk makanan manis. Makanan manis hadir sebagai makanan penutup atau pencuci mulut (nagerechten) antara lain cookies/kukis (kue kering), poffertjes/pancake (panekuk), spekkoek/spiku (lapis legit), kwee poetri mandie (kue putri mandi), wadjiek /kwee-wajé (wajik). 

Kini, Museum Ullen Sentalu juga menyajikan jenis makanan ini sebagai hidangan pengunjung di akhir sesi tur Vorstenlanden. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang peran penting gula sebagai bahan pelengkap kuliner Indies sekaligus bahan yang dekat dengan penduduk Jawa sekaligus  (ANUGRAH SATRIO, Mahasiswa Program Studi Sejarah, UGM. Magang Museum Ullen Sentalu 2022 ) 

Referensi:
Carey, Peter. 2012. Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: KPG dan KITLV-Jakarta.
Fadly Rahman. 2011. Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1900-1942. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 
Haryoto Kunto. 1986. Semerbak bunga di Bandung Raya. Bandung: Ganesa.
Hermanu. 2014. Kereta Malam. Yogyakarta: Bentara Budaya Yogyakarta.
Hermanu. 2019. Suikerkultuur: Jogja yang Hilang. Yogyakarta: Bentara Budaya Yogyakarta.
Olthof, W. 2008. Babad tanah Jawi: Mulai dari nabi Adam sampai tahun 1647. Yogyakarta: Narasi.
Sartono Kartodirdjo et. al. 1993. Perkembangan Budaya Priyayi. Jakarta: Gadjah Mada
University Press.

0 Comments



Leave a Reply.

    Archives

    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    September 2021
    May 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021

    Categories

    All
    Budaya
    Kesehatan
    Pendidikan
    Sastra
    Sejarah
    Yogyakarta

MUSEUM ULLEN SENTALU
Jl. Boyong Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta

SEKRETARIAT ULLEN SENTALU
Jl. Plemburan 10, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta 55581
T. 0274 880158, 880157
E. [email protected], [email protected]
Ikuti Ullen Sentalu di:
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak