ULLEN SENTALU
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak

KAJIAN

Artikel Riset Museum Ullen Sentalu tentang Jawa dan Nusantara

Tirakatan: Cara Orang Jawa Melewati Malam 1 Sura alias Menyambut 1 Muharam

18/7/2023

0 Comments

 
Picture
Jika perayaan tahun baru Masehi umumnya dirayakan secara meriah, contohnya dengan meniup terompet dan pesta kembang api, masyarakat Jawa sebenarnya punya tradisi berbeda dalam menjalani malam pergantian tahun menurut Kalender Jawa. Kalender Jawa sendiri merupakan kombinasi Kalender Hijriah dan Kalender Saka sehingga tanggal 1 Muharram dalam Kalender Hijriah disebut sebagai 1 Sura yang dibaca sebagai “siji Suro” dalam Kalender Jawa.
Bagi masyarakat Jawa, malam 1 Sura itu dimaknai sebagai media merefleksikan diri. Mereka melakukannya lewat wiridan dan dzikir saat malam tahun baru, atau setidaknya menjaga diri untuk tetap melek terjaga hingga melewati pergantian malam atau bahkan fajar. Dalam tradisi Jawa, ini disebut tirakatan yang artinya menyendiri atau menjauh dari keramaian. Tradisi ini diyakini sebagai keberlanjutan kebiasaan raja-raja Mataram Islam yang suka menepi di gua hingga pantai untuk mencari ketentraman batin dan keselamatan.

Karena peringatan malam 1 Suro dalam budaya Jawa dimaknai sebagai malam sakral, maka masyarakat sering pula mengisinya dengan serangkaian upacara syarat makna seperti Jamasan Pusaka, Wayangan, Ruwatan, Larung Sesaji, hingga Tapa Brata. Dalam hal ini, Keraton Yogyakarta dan Surakarta sebagai keturunan Dinasti Mataram Islam juga memiliki upacara khas untuk menyambut malam 1 Muharram atau 1 Suro atau kini lebih akrab disebut malam tahun baru Islam.

Keraton Surakarta biasanya menggelar upacara Kirab Pusaka untuk merayakan tahun baru Islam. Kirab tersebut merupakan bentuk rasa syukur, tafakur (merenung), dan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah). Menurut Dian Uswatina dalam Akulturasi Budaya Jawa dan Islam (2016), sejak awal berdirinya Keraton Surakarta hingga awal pemerintahan Sunan Pakubuwono XII (1945-2004), kirab hanya dilakukan mengelilingi bagian dalam keraton. Akan tetapi, sejak tahun 1973, kirab pusaka dilakukan mengelilingi luar tembok keraton dan mengikutsertakan “kebo bule” Kyai Slamet yang juga dianggap pusaka keraton. Kerbau berbulu putih kecoklatan tersebut merupakan hewan klangenan atau kesayangan Sunan Pakubuwana II (1726-1742). Leluhur kerbau ini konon merupakan hadiah dari Kyai Hasan Besari Tegalsari, Ponorogo. Oleh karena itu, kebo bule secara turun temurun menjadi cucuk lampah (pengawal) pusaka keraton dalam upacara Kirab Pusaka.

Sementara di Keraton Yogyakarta pergantian tahun baru Islam diwarnai dengan upacara Tapa Bisu Mubeng Benteng. Dinas Kebudayaan Yogyakarta dalam Ensiklopedi Keraton Yogyakarta (2009) menjelaskan bahwa Tapa Bisu Mubeng Benteng merupakan upacara tirakatan mengelilingi benteng keraton dengan membisu. Upacara ini dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi benteng keraton sebanyak tujuh kali dan tidak diperbolehkan berbicara atau bersuara. Meski pembukaan upacara dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwana atau wakil sultan tetapi pelaksana upacara ini adalah para abdi dalem. Mereka akan berjalan mengelilingi benteng tanpa alas kaki dan berbekal tasbih karena upacara ini bermakna pengingat kepada alam dan Sang Pencipta.

​Hersapandi dkk dalam Suran: Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni (2005) menjelaskan bahwa konsep mubeng beteng kemungkinan besar terpengaruh oleh konsep pradaksina dan prasawya dalam ritual Hindu/Budha. Pradaksina adalah ritual berjalan kaki sesuai arah jarum jam, sedangkan prasawya adalah ritual berjalan berkebalikan arah jarum jam. Keduanya memiliki makna yang baik, yakni sebagai simbol permohonan kebutuhan lahir dan batin. Oleh karena itu, upacara mubeng benteng mengajarkan kepada kita bahwa tahun baru seharusnya menjadi media refleksi diri. Orang Jawa menempuhnya dengan sikap eling lan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sementara waspada berarti manusia juga harus waspada dan terjaga dari godaan yang menyesatkan. RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu)
0 Comments



Leave a Reply.

    Archives

    October 2025
    September 2025
    August 2025
    July 2025
    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    September 2021
    May 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021

    Categories

    All
    Budaya
    Kesehatan
    Pendidikan
    Sastra
    Sejarah
    Yogyakarta

MUSEUM ULLEN SENTALU
Jl. Boyong Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta

SEKRETARIAT ULLEN SENTALU
Jl. Plemburan 10, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta 55581
T. 0274 880158, 880157
E. [email protected], [email protected]
Ikuti Ullen Sentalu di:
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak