Pada awalnya penamaan Kebumen bersumber dari kata Kabumian. Itu adalah sebutan bagi tempat kedudukan Kyai Bumi, yakni nama di luar kraton bagi Pangeran Bumidiraja atau Pangeran Mangkubumi dari Mataram. Ia memakainya setelah berselisih dengan kakaknya, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Kebumen juga bersangkut paut dengan kata Bumi yang berarti tanah atau dunia, mendapatkan awalan ke- dan akhiran -an yang menyatukan kata tersebut. Penyebutan Kebumen bagi masyarakat lokal lebih mudah adalah sebab mengapa dari Kabumian menjadi Kebumen.
Teguh Hindarto dalam buku Wetan Kali Kulon Kali menyebutkan bahwa Kebumen sebelum Perjanjian Giyanti 1755 termasuk daerah yang disebut Bagelen. Oleh pihak Kerajaan Mataram, wilayah tadi termasuk kategori negaragung, atau kurang lebihnya adalah klaster kabupaten-kabupaten inti di tengah negara. Setelah adanya perjanjian Giyanti yang membagi Mataram menjadi Kasultanan (Yogyakarta) dan Kasunanan (Surakarta), maka Bagelen menjadi wilayah Mancanegara milik kedua kerajaan ini. Termasuk dari itu adalah Kabupaten Panjer, yang kini menjadi bagian Kebumen. Kini tampilan budaya adat Kebumen mengarah kepada gaya Solo, tapi sebelum 1830 kabupaten ini sebenarnya terbagi menjadi beberapa bagian di antara milik Yogyakarta maupun Surakarta. Selanjutnya pasca Perang Jawa 1825-1830 Kebumen menjadi daerah kekuasaan Belanda di bawah Asisten Residen. Ganti merujuk penjelasan Teguh Hindarto dalam buku Bukan Kota Tanpa Masa Lalu, Kebumen pada masa Perang Jawa masuk Karesidenan Bagelen sampai dengan 1901. Karesidenan Bagelen kemudian berganti nama menjadi Kedu. Beriringan dengan ini, pada 1901-1936 dilakukanlah proses penggabungan beberapa kabupaten, meliputi Panjer, Ambal dan Karanganyar, menjadi suatu kabupaten yang lebih besar. Itulah yang lantas dikenal sebagai Kebumen hingga kini. Sebagai kabupaten, Kebumen antara lain dikenal sebagai asal makanan sate ambal dengan bumbu tempenya yang khas. Selain kuliner, Kebumen juga memiliki kesenian khas berupa Kuda Lumping dan Tari Lawet yang menceritakan tentang burung walet dalam mencari makan hingga kembali ke sarangnya. (Rahmat Fajar Hidayat/Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro/Magang di Museum Ullen Sentalu, April-Mei 2023)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |