ULLEN SENTALU
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak

KAJIAN

Artikel Riset Museum Ullen Sentalu tentang Jawa dan Nusantara

​6 Gelar Nama Raja-Raja Mataram Islam (Bagian 3: Pakubuwana & Hamengkubuwana)

9/2/2024

1 Comment

 
Picture
Terbagi dalam dua tulisan sebelumnya, ada pembahasan tentang empat dari enam gelar nama para raja Dinasti Mataram Islam, Senopati Ingalaga, Hanyakrawati, Hanyakrakusuma, dan Amangkurat. Tulisan ini menjadi bagian ketiga dari tiga tulisan serangkai tentang gelar-gelar nama utama para raja Dinasti Mataram Islam. Pembahasannya adalah tentang dua nama tersisa dari total enam gelar, yaitu gelar nama kelima serta keenam: 
1. Pakubuwana
​
Gelar nama ini bersumber dari bahasa Jawa dan tepatnya merupakan gabungan dari dua kata: paku dan buwana. Paku adalah paku, sedangkan buwana berarti dunia. Dengan demikian, Pakubuwana berarti “paku bagi dunia”. Makna tersebut sekaligus mengandung arti tambahan bahwa sang pengguna gelar adalah poros pancang pemberi kestabilan bagi jagad seisinya. 

Pihak perdana pengguna gelar nama Pakubuwana di antara para raja Mataram Islam adalah raja ketujuh. Sebelum naik takhta ia dikenal dengan nama Pangeran Puger. Ia ini adalah putra Amangkurat I, adik Amangkurat II, paman sekaligus mertua dari Amangkurat III, juga ayah dari Amangkurat IV. Masa bertakhta Pakubuwana I ini berada di antara atau menyelingi masa bertakhta Amangkurat III dan Amangkurat IV.

Gelar nama Pakubuwana juga digunakan oleh raja terakhir yang memerintah Mataram Islam ketika masih utuh sebagai satu kerajaan, yakni Susuhunan Pakubuwana II. Raja ini merupakan putra Amangkurat IV serta cucu dari Pakubuwana I. Masa bertakhtanya berisikan naik-turun yang sama-sama tajam. Ia mengalami keterusiran dari istana dan ibukota Kartasura karena terdepak oleh serangan kelompok pemberontak Tionghoa, hingga ia harus mengungsi ke Ponorogo. Namun, atas titahnyalah ibukota serta istana baru Surakarta dibangun. Masa pemerintahannya juga diyakini sebagai tahun-tahun ketika Babad Tanah Jawa sebagai kronik resmi Dinasti Mataram Islam akhirnya tertuntaskan penulisannya.

Pakubuwana II wafat pada 1749 ketika negeri yang dipimpinnya tengah diharu-birukan oleh perang saudara. Adik beda ibu dari Pakubuwuna II, Pangeran Mangkubumi, yang pernah menjadi kepercayaan sang raja hingga menjadi pemimpin proyek pembangunan ibukota baru Surakarta, angkat senjata karena kecewa  berat kepada sang kakak oleh dua hal. Pertama karena sang kakak meneken traktat konsesi yang terlalu menguntungkan pihak VOC Belanda sekaligus merugikan negara Mataram. Kedua karena Pakubuwana II membatalkan penghadiahan tanah Sukawati yang semula dijanjikan sebagai imbalan jika Pangeran Mangkubumi sanggup menjinakkan gerakan pemberontakan Raden Mas Said.

Pasca wafatnya Pakubuwana II, putra mahkota sang mendiang raja dan Pangeran Mangkubumi saling berebut menjadi raja Mataram selanjutnya. Antara 1749-1755, keponakan dan paman tersebut sama-sama mengklaim sebagai Susuhunan Pakubuwana III.

VOC selaku pihak yang menerima penyerahan kedaulatan negara Mataram dari Pakubuwana II tak lama sebelum raja tersebut wafat, akhirnya bisa menengahi konflik perebutan takhta. Pihak Pangeran Mangkubumi dan pihak Putra Mahkota Pakubuwana II sama-sama beroleh separo wilayah dan separo jumlah penduduk negara Mataram. Sejak Palihan Nagari pada 1755 melalui Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Jatisari itu, klaim Putra Mahkota Pakubuwana II sebagai pemilik gelar Susuhunan Pakubuwana III tak lagi digugat oleh Pangeran Mangkubumi.
Pakubuwana III lantas meraja dengan meneruskan penggunaan ibukota dan istana di Surakarta. Negeri yang dipimpinnya pun disebut Kasunanan Surakarta. Pasca era Pakubuwana III, gelar nama utama Susuhunan Pakubuwana tetap diteruskan oleh para raja Surakarta hingga kini.

Sejak 2004, penyandang gelar Pakubuwana adalah Susuhunan Pakubuwana XIII yang sebelum naik takhta bernama Pangeran Hangabehi, anak laki-laki tertua Susuhunan Pakubuwana XII.  

2. Hamengkubuwana
Gelar nama ini bersumber dari bahasa Jawa dan tepatnya merupakan gabungan dari dua kata: hamengku atau mangku dan buwana. Hamengku berarti memangku, sedangkan buwana berarti dunia. Dengan demikian, Hamengkubuwana berarti “ia yang memangku dunia”.

Gelar nama itu muncul ketika Mataram Islam sudah mengalami disintegrasi dan terpecah menjadi dua bagian, yakni Surakarta serta Yogyakarta. Pengguna perdana gelar nama ini adalah pendiri sekaligus raja pertama Kasultanan Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi. Sultan Hamengkubuwana I demikian ia lazim dicatat dan disebut sejak menggunakan gelar tersebut pada 1755. Sebagai konsekuensi dari Perjanjian Giyanti pembelahan negara Mataram Islam, Pangeran Mangkubumi tak bisa lagi mengklaim penggunaan gelar nama Susuhunan Pakubuwana III yang harus ia relakan untuk digunakan oleh keponakannya, raja di Kasunanan Surakarta.

Pilihan sang pendiri Kasultanan Yogyakarta kepada gelar nama Hamengkubuwana menarik untuk ditafsir serta ditebak-tebak. Bagian hamengku sebagai bagian depan gelar nama utamanya mengingatkan kepada unsur kata mangku dalam gelar nama ayahnya selaku raja, yakni Sususuhunan Amangkurat IV. Unsur buwana dalam bagian belakang gelar namanya juga mengingatkan kepada unsur kata yang sama pada bagian gelar Pakubuwana yang digunakan kakek serta kakaknya. Dengan demikian, gelar nama Hamengkubuwana menyiratkan bahwa penyandangnya memiliki keterkaitan sekaligus merupakan penerus dari para raja Mataram Islam bergelar nama Amangkurat maupun Pakubuwana.
  
Hal semacam ini dapat kita bandingkan dengan hal terjadi semasa Jawa masih berada dalam hegemoni Hindu-Buddha, tepatnya pada 1293 ketika Majapahit berdiri. Raja pertama Majapahit, Dyah Wijaya, ternyata memilih abhiseka atau bergelar nama Kertarajasa Jayawardhana, yang menggabungkan gelar nama dua pendahulunya dalam Wangsa Rajasa, yaitu Sri Rajasa sang pendiri wangsa, juga Kertanegara yang adalah paman sekaligus mertuanya.

Pasca era Hamengkubuwana I, gelar nama utama Hamengkubuwana tetap digunakan oleh para raja Kasultanan Yogyakarta penerusnya. Pemegang kiwari dari gelar nama Hamengkubuwana adalah Sultan Hamengkubuwana X yang bertakhta sejak 1989. Semasa pangeran, anak laki-laki tertua Sultan Hamengkubuwana IX ini bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya Haji Mangkubumi. Semasa kanak-kanak hingga sebelum menikah, nama yang disandangnya adalah Bendara Raden Mas Herjuno Darpito. (Yosef Kelik-Departemen Riset Museum Ullen Sentalu)
 

 
 
 

1 Comment
Ario Kevin
17/4/2024 11:12:40 am

Sangat informatif

Reply



Leave a Reply.

    Archives

    October 2025
    September 2025
    August 2025
    July 2025
    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    September 2021
    May 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021

    Categories

    All
    Budaya
    Kesehatan
    Pendidikan
    Sastra
    Sejarah
    Yogyakarta

MUSEUM ULLEN SENTALU
Jl. Boyong Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta

SEKRETARIAT ULLEN SENTALU
Jl. Plemburan 10, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta 55581
T. 0274 880158, 880157
E. [email protected], [email protected]
Ikuti Ullen Sentalu di:
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak