Habis Gelap Terbitlah Terang: Contoh Buku yang Lebih Banyak Dihafal Judulnya Ketimbang Dibaca2/5/2024
Dalam list 100 teks yang disusun TEMPO dengan pertimbangan sejumlah pakar itu, Habis Gelap Terbitlah Terang menempati urutan 71. List 100 teks tersebut memuat pula antara lain Demokrasi Kita dan Mendajung Antara Dua Karang karya Mohammad Hatta, Di Bawah Bendera Revolusi karya Sukarno, Massa Actie dan Madilog karya Tan Malaka, 11 jilid Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia karya AH Nasution, Nationalism and Revolutions in Indonesia karya George McTurnan Kahin, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia karya Koentjaraningrat, Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirdjo, 4 jilid novel Tetrologi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, serta artikel “Als Ik Eens Nederlander Was” (“Seandainya Aku Seorang Belanda”) karya Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara. Alasan TEMPO memasukkan Habis Gelap Terbitlah Terang bergabung dengan teks-teks penting tadi. Isi surat-surat Kartini sarat muatan positif dan progresif: mengajarkan gairah tinggi menuntut ilmu setinggi mungkin, kritis terhadap sepak terjang diskriminatif Kolonial Belanda terhadap orang-orang pribumi, kritis kepada budaya aristokratik yang mengekang, mendokumentasikan kehidupan rakyat yang masih terbelakang pada peralihan abad XIX ke awal abad XX, menyuarakan visi peningkatan atas pengajaran untuk kaum perempuan sebagai bagian pula dari peningkatan martabat bangsa.
Judul buku Habis Gelap Terbitlah Terang sering menggema dalam ruang-ruang kelas sekolah-sekolah se-Indonesia. Ia langganan pula menjadi bagian soal tes untuk para murid. Bahkan kita menemukannya dikutip dan meluncur dari bibir pejabat yang berpidato atau oleh pembawa acara yang tengah memandu perhelatan. Terlebih jika semuanya masih ada kaitannya dengan peringatan-peringatan seputar emansipasi perempuan, contohnya saja Hari Ibu, Hari Perempuan Sedunia, dan tentunya Hari Kartini. Sayangnya, memori tentang Habis Gelap Terbitlah Terang tak banyak beranjak sebagai suatu hafalan hanya buku kumpulan surat-surat Kartini dan minim dibarengi tindakan nyata untuk sepenuhnya mengenal hal-hal substansial di dalamnya. Jarang ada suatu kebijakan serius, sistematis dan berkesinambungan dari otoritas pendidikan Indonesia, maupun berbagai sekolah serta perguruan tinggi negara ini untuk mengarahkan para murid dan mahasiswa membaca Habis Gelap Terbitlah Terang. Mereka seharusnya dapat menyerap pengetahuan langsung dari kumpulan surat itu, khususnya dalam hal gagasan emansipasi perempuan serta kritik kepada praktik ketidakadilan dalam kolonialisme. Jajak Pendapat Seputar pengalaman membaca buku-buku kumpulan surat Kartini, penulis membuat jajak pendapat sederhana selama 24 jam pada 19-20 April 2024 via akun pribadi di media sosial X, @sefkelik. Jajak pendapat tadi berhasil menggaet 105 peserta. Dari jumlah itu, 10 persen menyatakan pernah membaca hingga khatam; 17 persen menyatakan pernah membaca, tapi tidak khatam; 59 persen menyatakan belum pernah membaca; 14 persen menyatakan tidak tertarik untuk membaca Habis Gelap Terbitlah Terang maupun buku kumpulan surat Kartini sejenisnya. Hasil tadi menunjukkan penetrasi keterbacaan buku-buku kumpulan surat Kartini mentok di kisaran angka 27 persen. Gabungan dari mereka yang belum atau bahkan sama sekali tidak tertarik membaca buku demikian jumlahnya 73 persen. Di samping jajak pendapat media sosial X tadi, Museum Ullen Sentalu pernah menanyai acak beberapa mahasiswadi Jogja tentang pengalaman membaca buku kumpulan surat Kartini. Dari delapan orang responden, semua mengaku belum pernah membaca Habis Gelap Terbitlah Terang dan sejenisnya. Mereka sebatas mengaku tahu judul bukunya, yakni Habis Gelap Terbitlah Terang. Ini menunjukkan bahwa bagi banyak orang Indonesia, Habis Gelap Terbitlah Terang baru sebatas diingat dan dihafal judulnya, belum banyak yang sungguh membaca isi bukunya. Fenomena yang terjadi pada Habis Gelap Terbitlah Terang bukannya tidak mungkin dialami banyak buku dan teks penting lain yang sejatinya memiliki muatan bagus bagi pembentukan karakter bangsa. (Yosef Kelik, Periset di Museum Ullen Sentalu)
1 Comment
|
Archives
January 2025
Categories |