Pada zaman sebelum kemerdekaan, pusat kesenian dan kebudayan berkiblat di keraton. Tak heran banyak sekali kebudayaan maupun kesenian dari keraton yang disebarkan di luar keraton. Namun ada hal yang menarik pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VIII yang memobilisasi kesenian luar keraton ke dalam tembok keraton. Merujuk isi Ensiklopedi Kraton Yogyakarta yang diterbitkan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2009, Tari Golek awalnya berasal dari luar tembok keraton dan diperkirakan masuk ke dalam lingkungan kraton pada masa Sultan Hamengkubuwana VIII. Tari Golek saat di luar keraton diperagakan oleh waranggana, tetapi setelah masuk keraton diperankan oleh laki-laki. Ini karena penari putri di keraton hanya boleh membawakan Tari Bedhaya atau Serimpi saja.
Selanjutnya adalah kesenian Wayang Wong yang diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwana I sekitar tahun 1750-an. Seni ini kembali kembali berjaya pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII. Masih merujuk dari Ensiklopedi Kraton Yoyakarta, pementasann wayang wong pada era Sultan Hamengkubuwana VIII digelar selama tiga hari tiga malam. Dari pementasan tersebut menggambarkan kepedulian sultan pada kesenian maupun kebudayaan lainnya, maka tak heran pada periode Sultan Hamengkubuwana VIII menjadi masa emas dari wayang wong. Lambang keraton Kasultanan Yogyakarta kini menjadi suatu cenderamata akan diburu wisatawan baik dalam wujid stiker, gantungan kunci, bahkan kaos bergambar. Lambang tersebut yang sudah menjadi ciri khas Kasultanan Yogyakarta. Lambang benama asli Praja Cihna ini adalah ciptaan Sultan Hamengkubuwana VIII. Turut dilibatkan dalam proses kreasinya adalah menantu Sultan Hamengkubuwana VII, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Yosodipuro pada tahun 1921 (Ensiklopedia Kraton). Setidaknya dari lambang Praja Cihna ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa Sultan Hamengkubuwana VIII mempunyai selera seni yang tinggi dan dapat diterima masyarakat luas karena lambang Keraton Jogja eksis hingga sekarang. Kecintaan Sultan Hamengkubuwana VIII terhadap dunia kebudayaan juga tak perlu diragukan. Untuk menunjukan bagaimana kepedulian sultan dapat terlihat dari pembukaan Museum Sonobudoyo milik Java Instituut di sekitar keraton pada 6 November 1935. Selanjutnya dalam pelestarian Budaya Jawa, sultan turut menginisiasi kursus dalang pada 1925 bernama Habiranda yang merupakan singkatan dari hawurani biwara rancangan dalang. Kecintaan terhadan seni dan budaya merupakan sebuah keharusan bagi seorang raja. Namun, tidak semua raja bisa menjadikan seni dan budaya menjadi hidup. Sultan Hamengkubuwana VIII berhasil menghidupkan seni serta kebudayaan dengan nyawa yang senantiasa terjaga. (Rahmat Fajar Hidayat/Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro/Magang di Museum Ullen Sentalu, April-Mei 2023)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |