Nekara dan Moko
Secara fungsional, nekara dan moko di-tabuh dalam upacara keagamaan untuk memanggil roh leluhur. Roh tersebut dipercaya dapat mendatangkan kemakmuran, salah satunya mendatangkan hujan. Namun selain itu, Dewa K. Gede dalam Fungsi Moko dalam Kehidupan Masyarakat Alor (2000), juga menyebutkan fungsi nekara dan moko sebagai lambang status sosial, mas kawin, alat musik, dan benda ekonomis. Fungsi nekara dan moko sebagai sarana upacara sekaligus sebagai alat musik merupakan cikal bakal perkembangan tetabuhan pada periode setelah pra sejarah. Simbal hingga Genderang Pada periode klasik atau kebudayaan Hindu-Budha di Jawa, tetabuhan tidak hanya sebagai sarana upacara, tetapi juga berfungsi praktis sebagai pengiring tari. Hal tersebut termuat dalam Prasasti Randusari II/Poh (905 Masehi) yang menyebutkan kata penabuh untuk menyebut pemain musik yang hadir dalam upacara peneguhan daerah perdikan (sima) oleh Raja Balitung di Desa Poh dan Rumasan. Apa saja yang ditabuh? Berbagai prasasti Jawa Kuno (abad VII-XV), menyebutkan beberapa alat musik seperti regang (simbal) dan gendang (kendang), serta beberapa alat musik lain yang menjadi cikal bakal instrumen gamelan. Bukti kehadiran tetabuhan dari alat musik tersebut juga dapat ditelusuri melalui beberapa panel relief candi. Salah satunya dalam panel relief 42 Jataka di Candi Borobudur (abad VIII – IX Masehi). Gamelan Pada periode Islam di Jawa (abad XVI Masehi), instrumen gamelan mengalami penyempurnaan. Tak hanya bersifat tetabuhan. Pada periode ini, alat musik lain yang dipukul dan dipetik dikombinasikan dengan gendang dan simbal membentuk suatu orkestra yang lazim disebut gamelan. Sebagaimana periode klasik, penabuhan gamelan juga hanya diselenggarakan di momen khusus dan dihadapan raja. Salah satunya dalam upacara Grebeg Mulud atau peringatan kelahiran Nabi Muhammad. Dalam peringatan ini, gamelan keraton dibunyikan di depan Mesjid kraton secara khidmat selama tujuh hari tujuh malam dalam prosesi acara bernama ‘sekaten’. Berbeda dengan puncak acara grebeg yang menampilkan kompleksitas tetabuhan yang bersumber dari alat musik yang dibunyikan oleh setiap kesatuan prajurit keraton (kini jumlahnya 10 bregada). Kompleksitas bunyi itulah yang kemudian melatarbelakangi penamaan grebeg yang berasal dari kata gumarebeg, suasana riuh dan ramai. Orkestra gamelan semakin kompleks abad XVIII Masehi, terlebih lagi setelah abad berikutnya. Alat-alat musik Eropa masuk ke Jawa dan dapat dikombinasikan dengan gamelan. Salah satunya adalah piano, yang mulai dipentaskan di istana raja. Pada tahun 1920 an pengkombinasian tersebut dipelopori seniman Walter Spies dari Jerman yang tinggal di Yogyakarta. Sementara alat musik Eropa lainnya, masuk sebagai orkestra yang menghibur orang-orang Eropa di Jawa dan sering dimainkan di gedung gedung perkumpulan mereka sejak awal abad ke XIX Masehi. RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu)
1 Comment
15/9/2024 02:49:20 pm
Saya sangat tertarik dengan situs ini kapan ya bisa kesana
Reply
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |