Dengan merujuk sekaligus membandingkan dua macam transliterasi aksara Kawi ke alfabet Latin atas Nagarakretagama, yakni versi Ketut Riana pada 2009 yang diterbitkan sebagai buku oleh KOMPAS, juga versi Damaika Saktiani dkk pada 2019 yang diterbitkan sebagai buku oleh Narasi, maka bunyi selengkapnya pupuh dan bait Nagarakretagama yang tadi dimaksud adalah demikian:
Nirwya teki lawas niraśriṅ aṅikět kakawin awtu bhāṣa riṅ karas, těmbenya śākābda piṅ rwa nika lambaṅ i telasika parwwāsagara nāhan teki catūrtthi bhiṣma śaranantya nika sugata parwwa warņnana lambaṅ mwaṅ śākākala taṅ winaluyan gati nikan aměwěh turuṅ pěgat. Untuk terjemahan bahasa Indonesia dari pupuh 94 bait 3 Nagarakretagama, rujukan dalam tulisan ini adalah perbandingan atas tiga macam alih bahasa. Tak hanya versi I Ketut Riana 2009 dan versi Damaika Saktiani 2019, tapi juga versi Slamet Muljana 1979. Karena itu, terjemahan selengkapnya sekuen Nagarakretagama tersebut berbunyi: "Sia-sialah selama ini dia terus-menerus menggubah syair, kata-kata puisi pada daun lontar Yang pertama-tama Sakabda, yang kedua Lambang, setelahnya Parwasagara Demikianlah itu yang keempat Bhisma Sarana, lalu Sugata Parwa Warnana Lambang dan Sakakala masih akan lanjut ditulis sebab belum lengkap dan terputus" Berpedoman kepada pengakuan pribadi Prapanca di atas tentang karya tulis yang telah dihasilkan maupun sedang dalam proses penyelesaiannya pada 1365 Masehi, kita mendapati bahwa sang pujangga penganut agama Buddha tersebut memiliki hingga lima karya selain Nagarakretagama, yakni:
Pengerjaan Nagarakretagama--yang bangunan cerita utamanya adalah dokumentasi muhibah keliling negeri dari Maharaja Hayam Wuruk pada 1359—mengharuskan Prapanca menyetop penulisan Lambang serta Sakabda/Sakakala. Tiga kitab lainnya yang juga disebut dalam pupuh 94 bait 3 Nagarakretagama, yakni Parwasagara, Bhismasaranantya, dan Sugata Parwa Warnnana dapat disimpulkan sudah paripurna ditulis sebelum 1365. Prapanca menilai Sakabda/Sakakala, Lambang, Parwa Sagara, Bhisma Sarana, dan Sugata Parwa Warnana berada pada tataran mutu yang tak setinggi Nagarakretagama. Meskipun, bila kita merujuk beberapa sekuen lain dari Nagarakretagama, yakni pupuh 17 bait 8 dan 9 serta pupuh 94 bait 4, ada suatu kesadaran diri, entah dari kekurangpercayaan diri atau sekadar kerendahan hati, tentang mutu Nagarakretagama yang dianggap kurang memenuhi standar terpuji keindahan susastra era Majapahit. Tanda Tanya Besar Berbeda dengan Nagarakretagama yang menjadi tersohor pada 130 tahun terakhir, hingga diakui sebagai bagian Memory of the World oleh UNESCO, nasib maupun keberadaan lima “saudaranya” sebagai buah karya Prapanca diliputi tanda tanya besar. Hingga kini, lebih diyakni bahwa Sakabda/Sakakala, Lambang, Parwa Sagara, Bhisma Sarana, juga Sugata Parwa Warnana, tiada yang kalis dari perubahan zaman karena kisruh ontran-ontran hingga runtuhnya Majapahit pada akhir abad XV dan awal abad XVI. Lima kitab itu telanjur punah dan masyarakat kini hanya dapat mengenang judul mereka, tanpa mengetahui isi lengkapnya. Meski demikian, ada pendapat dari Poerbatjaraka lalu diteruskan oleh Slamet Muljana, bahwa dari lima karya Prapanca selain Nagarakretagama sejatinya masih ada yang selamat hingga ke zaman moderen ini. Kemungkinan karena sesuatu hal beberapa karya Prapanca non Nagarakretagama justru dikenal masyarakat kini dalam judul lain, bukan seperti yang tertulis dalam pupuh 94 bait 3 Nagarakretagama. Hal ini bisa terjadi karena tradisi penulisan era Jawa Kuna kental dengan praktik penggunaan paraban atau samaran untuk menyembunyikan identitas asli penulisnya. Pendapat demikian dapat dibaca dalam halaman 308 buku tulisan Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Nagarakretagama, pada cetakan V- terbitan LKiS 2011, juga sebagai edisi baru dari buku terbitan Bharatara pada 1979. Karya sastra kuno kadang dikenal dengan judul lain oleh khalayak modern. Hal ini merupakan bagian kompleksitas identifikasi dari karya sastra kuno berkenaan dengan diskoverinya di zaman modern, juga tentang transliterasi dan penerjemahannya ke bahasa modern. Contoh dalam hal ini adalah Nagarakretagama. Keterangan tambahan penyadur serta selera pribadi penemu ulangnya yang memberi judul sebagai Nagarakretagama , padahal judul asli dari penulisnya adalah Desawarnana. Merujuk Slamet Muljana dalam bukunya, ada dua kitab kuno yang diduga Poerbatjaraka sebagai bagian buah karya Prapanca selain Nagarakretagama. Pertama adalah Nirartha Prakreta yang secara tradisional disebut sebagai karya pujangga Hanang Nirartha. Menurut Poerbatajaraka, kakawin ini mungkin sejatinya adalah Lambang karya Prapanca. Kedua adalah Kunjarakarna yang tertulis sebagai karya pujangga bernama Mpu Dusun. Menurut Poerbatjaraka, kakawin ini kemungkinan adalah Sugata Parwa Warnana. Namun, untuk membuktikan benar-salahnya dugaan Poerbatjaraka bukan perkara mudah. Hingga kini pun masih kekurangan alat bukti. Masih menurut Muljana, TGT Pigeaud pernah mengoleksi dan mengidentifikasi suatu kakawin berjudul Saka Kala. Berdasar judul, kakawin tersebut mirip dengan karya Prapanca berjudul Sakbda yang juga dikenal dengan Sakakala. Namun, Pigeaud sendiri tidak terlalu yakin bahwa Saka Kala koleksinya adalah Sakabda atau Sakakala karya Prapanca. Pigeaud lebih melihat Saka Kala koleksinya sebagai hasil penulisan dari zaman yang lebih muda yaitu setelah era Prapanca. [Yosef Kelik (Periset di Museum Ullen Sentalu)]
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |