Sebagai lambang suatu kerajaan atau negara, Praja Cihna terdiri dari kombinasi atribut yang syarat dengan filosofis. Mahkota (songkok) melambangkan watak ksatria atau sifat seorang raja. Sumping atau perhiasan yang diselipkan di atas telinga, melambangkan perlindungan untuk keselamatan kraton. Sorot cahaya (praba) melambangkan pribadi yang dapat menegakkan kehormatan Jawa, Mataram. Sayap (lar) melambangkan cita-cita tinggi. Tameng melambangkan keberanian yang tanpa meninggalkan kewaspadaan untuk membela kebenaran. Aksara Jawa “Ha” - “Ba” merupakan singkatan dari gelar Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta di Kasultanan Yogyakarta. Bunga Padma (sekar padma) melambangkan kehidupan dunia yang mendasari kehidupan akhirat. Tumbuhan Sulur (laler) melambangkan kehidupan berkelanjutan laksana sulur yang terus menerus tumbuh merambat. Warna merah melambangkan keberanian dan warna keemasan melambangkan keagungan.
Selain sebagai lambang Kasultanan Yogyakarta, Praja Cihna juga sebagai lambang pribadi sultan, atau kemudian disebut Cihnaning Pribadi. Praja Cihna jenis ini berfungsi sebagai penanda raja bertakhta sehingga dapat ditemukan pada ornamen bangunan, benda-benda kriya, bahkan peralatan makan raja. Baik sebagai lambang kasultanan maupun pribadi sultan, embrio Praja Cihna yang mendekati bentuk sekarang teridentifikasi dari hiasan dinding Bangsal Manis, Kraton Yogyakarta. Praja Cihna tersebut mengandung sengkalan memet yang berbunyi kaluwihaning yaksa salira aji. Kaluwihaning terlihat dari ukiran daun pohon kluwih yang bermakna 1, yaksa terlihat dari kemamang bermakna 5, salira atau binatang melata terlihat dari ukiran ular naga bermakna 8, dan aji terlihat dari aksara “Ha”-“Ba” bermakna 1. Berdasarkan sistem pembacaan, sengkalan tersebut menghasilkan angka tahun 1851 Saka atau 1921 Masehi. Angka tahun tersebut mengindikasikan bahwa bentuk Praja Cihna seperti sekarang mulai digunakan sejak kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939). Menurut postingan Kraton Jogja pada 12 dan 13 Maret 2018, lambang Kasultanan Yogyakarta masih terpengaruh dengan lambang Kerajaan Belanda yang identik dengan figur dua singa, perisai, dan mahkota. Lambang seperti itu masih bertahan hingga masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono VII. Hal tersebut dibuktikan dengan pahatan Praja Cihna di dinding tandu atau joli Sultan Hamengku Buwono VII dari tahun 1877. Pahatan tersebut menggambarkan stilasi alfabet H & B VII di bagian tengah pahatan lambang Kerajaan Belanda. Namun, Cihnaning Pribadi Sultan Hamengku Buwono VII masih menggunakan angka romawi H & B VII yang dibingkai dalam hiasan padi dan kapas, serta mahkota di bagian atasnya. Bentuk seperti ini masih dijumpai setidaknya di prasasti sisi Selatan Tugu. Bahkan Cihnaning Pribadi seperti ini masih dipakai pada awal kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono VIII, sebelum ia mengubahnya mendekati bentuk Praja Cihna Kraton Yogyakarta dengan tambahan aksara Jawa “VIII” pada sisi bagian bawah. Dengan demikian, Praja Cihna yang sekarang kita lihat sebenarnya baru muncul sekitar satu abad silam. (Restu A Rahayuningsih)
1 Comment
Kukuh
12/9/2024 08:08:35 am
Guru bahasa jawa kelas 12 saya menjelaskan tentang lambang keraton yogyakarta, ditampilkan versi yang berbeda dengan sedikit perubahan saya perhatikan ada disini lar/sayapnya berjumlah 8 sedangkan dari guru saya 10. Ternyata jumlah sayap tidak mempunyai makna yang signifikan melainkan lebih fokus dengan keberadaannya sendiri yang melambangkan cita2 tinggi, setinggi langit
Reply
Leave a Reply. |
Archives
January 2025
Categories |