ULLEN SENTALU
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak

KAJIAN

Artikel Riset Museum Ullen Sentalu tentang Jawa dan Nusantara

Tentang Panembahan, Susuhunan, dan Sultan Selaku Gelar  Raja Dinasti Mataram Islam

20/1/2024

0 Comments

 
Selama menjadi suatu kerajaan utuh antara 1584-1755, maupun setelah terbelah jadi empat pecahan besar-kecil sebagai efek disintegrasi 1755-1812, para penguasa Dinasti Mataram Islam tercatat bergonta-ganti menggunakan beberapa gelar nama jabatan.
Picture
1. Panembahan
Gelar jabatan raja ini berarti “sosok yang disembah”, atau “sosok menjadi tujuan laku penghormatan”, atau “sosok yang menjadi arah ditujukannya kesetiaan dan pengabdian”. Akar kata dari istilah gelar Panembahan ini sendiri adalah “sembah” yang dalam bahasa Jawa berarti “penghormatan sekaligus bersetia”.

Gelar Panembahan sebagai gelar jabatan raja dipakai sebanyak tiga kali secara berturut-turut oleh tiga pemilik takhta paling awal di Mataram Islam. Panembahan tepatnya digunakan 1584-1601 oleh raja pertama sekaligus pendiri Mataram Islam, Panembahan Senopati. Pada periode berkuasa penguasa berikutnya, yakni 1601-1613, gelar Panembahan digunakan oleh putra Panembahan Senopati, yakni Panembahan Hanyakrawati, yang lebih dikenal dalam nama anumertanya, Panembahan Seda Ing Krapyak (Paduka yang Wafat di Hutan Perburuan).

Pada 1613-1625, antara lain dengan merujuk sumber Belanda seperti tulisan Jan Vost (1624), gelar Panembahan diyakini masih digunakan sebagai gelar jabatan raja oleh putra Panembahan Hanyakrawati sekaligus cucu Panembahan Senopati. Dalam periode tadi, raja ketiga Mataram Islam ini diperkirakan memakai gelar Panembahan Ingalaga atau bisa juga malah Panembahan Hanyakrakusuma.

Dalam masa pemerintahannya yang masih terentang hingga 1646, raja ketiga tersebut tercatat dua kali lagi berganti gelar, yaitu pada 1625 atau setelah penaklukan Surabaya menjadi Susuhunan Hanyakrakusuma. Lalu, pada 1641 atau lima tahun sebelum wafat menjadi Sultan Agung Hanyakrakusuma yang juga diadopsi sebagai penyebutan standar sang raja tersebut dalam sejarah arustama di Indonesia.
 
2. Susuhunan
Gelar jabatan Susuhunan berarti “sosok yang menjadi tempat ditujukan permintaan”, juga dapat berarti “sosok yang begitu dihormati hingga dijunjung dengan diletakkan di atas kepala”. Akar katanya dari Suhun atau Suwun yang artinya “permintaan” atau “permohonan”. Gelar jabatan ini menunjukkan raja merupakan sosok terhormat yang berkelimpahan dan dapat menjadi pengabul untuk permohonan yang ditujukan kepadanya.

Gelar jabatan Susuhunan terbilang telah terus digunakan sejak 1625. Pada periode Mataram Islam masih utuh sebagai satu kerajaan, tercatat ada tujuh raja yang pernah menggunakan gelar jabatan ini. Mereka meliputi Susuhunan Hanyakrakusuma (1625-1641), Susuhuhan Amangkurat I (1646-1677), Susuhunan Amangkurat II (1677-1703), Susuhunan Amangkurat III (1703-1705), Susuhunan Pakubuwana I (1705-1719), Susuhunan Amangkurat IV (1719-1726), dan Susuhunan Pakubuwana II (1726-1749). Setelah itu, sejak 1749 hingga kini, gelar Susuhunan digunakan sebagai gelar jabatan para raja Kasunanan Surakarta, yakni satu dari 4 pecahan Mataram Islam.
 
3. Sultan
​
Gelar jabatan ini diadopsi dari tradisi gelar raja di negeri-negeri Islam di Asia Barat atau Timur Tengah. Raja ketiga Mataram Islam, Susuhunan Hanyakrakusuma, tertarik untuk mengadopsi gelar kebesaran ini lantaran tak ingin kalah dengan langkah yang diambil raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa (1640-1650).

Untuk memperoleh gelar Sultan ini, Susuhunan Hanyakrakusuma sampai mengirim utusan kepada Syarif Makkah pada tahun 1641 untuk memohon penganugerahan resmi gelar itu. Akhirnya pada tahun yang sama, gelar “Sultan” diterima Susuhunan Hanyakrakusuma, disimbolkan dengan hadiah kuluk, bendera (pataka), dan guci isi air zam-zam. Sejak saat itulah, Susuhunan Hanyakrakusuma berganti gelar jabatannya menjadi Sultan Agung Hanyakrakusuma. Gelar ini terkadang juga dipadukan menjadi Kanjeng Sultan Agung Prabu Pandita Nyakra-Kusuma yang artinya raja tersohor yang sakti mandraguna.

Pasca wafatnya Sultan Agung Hanyakrakusuma pada 1646, gelar jabatan Sultan sempat lama tidak digunakan para penguasa Dinasti Mataram Islam. Gelar jabatan Sultan baru kembali rutin digunakan hingga diwariskan turun-temurun sampai sekarang sejak pendirian Kasultanan Yogyakarta pada 1755 oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I. Sejak itu ada sudah ada sepuluh Raja Yogyakarta bergelar nama Hamengkubuwana yang telah pula menyandang gelar jabatan Sultan. (Restu A Rahayuningsih & Yosef Kelik, Divisi Riset Museum Ullen Sentalu)
0 Comments



Leave a Reply.

    Archives

    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    September 2021
    May 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021

    Categories

    All
    Budaya
    Kesehatan
    Pendidikan
    Sastra
    Sejarah
    Yogyakarta

MUSEUM ULLEN SENTALU
Jl. Boyong Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta

SEKRETARIAT ULLEN SENTALU
Jl. Plemburan 10, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta 55581
T. 0274 880158, 880157
E. [email protected], [email protected]
Ikuti Ullen Sentalu di:
  • Home
  • Berkunjung
  • Museum
  • Kajian
  • Kontak